Thursday, July 29, 2010

Sai Inspires 29th July 2010


It is mentioned that "Success begets success." But how is success to be achieved and what is the success you should aim at? The Bhagavad Gita declares: Shraddhavan Labhathe Jnanam (The persevering seeker secures wisdom). This means that without perseverance and earnestness, no success can be achieved. Man is not able to make significant progress towards the Divine because of absence of strenuous striving in the spiritual sphere. Without spiritual practice, reading religious books and listening to spiritual discourses have no value. Study of scriptures and reciting God's names may be good acts in themselves. But, if there is no love, which is the basis of all sadhana (spiritual discipline), they are of no use.

Disebutkan bahwa "Sukses melahirkan sukses." Tetapi bagaimana keberhasilan yang akan dicapai dan apa tujuan keberhasilan itu? Bhagavad Gita menyatakan: Shraddhavan Labhathe Jnanam (Peminat spiritual yang tekun akan mencapai kebijaksanaan). Ini berarti bahwa tanpa ketekunan dan kesungguhan, tidak ada keberhasilan yang dapat dicapai. Manusia tidak dapat membuat kemajuan yang berarti menuju Tuhan disebabkan tidak adanya usaha yang keras dalam bidang spiritual. Membaca buku-buku agama dan mendengarkan wacana-wacana spiritual tidak akan ada artinya, jika tidak dibarengi dengan praktek spiritual. Mempelajari Kitab Suci dan mengulang-ulang Nama Tuhan merupakan tindakan baik bagi diri mereka sendiri. Tetapi, jika tidak ada cinta-kasih, yang merupakan dasar dari semua sadhana (disiplin spiritual), semuanya itu tidak akan ada gunanya.

- Sathya Sai Speaks, Vol-17, Ch-3

Wednesday, July 28, 2010

Sai Inspires 28th July 2010


It is creditable if you behave as a human being and even more laudable if you behave as God would. But to behave as a demon or a beast is indeed despicable. Human beings were long born as a mineral, then became a tree; in the process of evolution, got promoted to an animal, and finally rose to the status of a human being. It is a matter of great shame if an individual slides into the nature of a beast or an ogre. One deserves praise only if one rises to the Divine status. That is the fulfilment of one’s destiny. Avoid contact with the vices and develop attachment to virtues. Transmute your heart into an altar for the Lord. Destroy all the shoots and sprouts of desire. Then, your heart will be sublimated into a ksheerasagara, the pure ocean of milk where Lord Vishnu reclines. Your heart will be transformed and you will di scover endless delight.

Engkau akan lebih dihargai jika engkau berperilaku sebagai manusia dan bahkan lebih dihargai lagi jika engkau berperilaku seperti Tuhan. Tetapi jika engkau berperilaku buruk atau berperilaku binatang, itu benar-benar tercela. Dalam proses evolusi, manusia lahir sebagai mineral, kemudian menjadi pohon; meningkat menjadi binatang, sampai akhirnya menjadi manusia. Akan sangat memalukan jika seorang individu tergelincir ke sifat-sifat binatang atau raksasa. Seseorang layak mendapatkan pujian hanya jika naik ke status Tuhan. Itu adalah pemenuhan takdir seseorang. Hindari kontak dengan keburukan dan kembangkan keterikatan pada kebajikan. Ubahlah hatimu menjadi altar bagi Tuhan. Hancurkan semua bibit dan tunas keinginan. Selanjutnya, hatimu akan dimurnikan ke Ksheerasagara, lautan susu murni di kediaman Dewa Wisnu. Hatimu akan di transformasi dan engkau akan menemukan kebahagiaan yang tak akan berakhir.

- Bhagavatha Vahini, Chap 1, "The Bhagavatha"

Sai Inspires 27th July 2010


Tapas (penance) does not mean positioning oneself upside down, head on the ground and feet held up like a bat. Nor is it the renunciation of possessions and properties, wife and children, emaciating one’s body or holding the nose to regulate one’s breath. Physical actions, oral assertions and mental resolves—all three have to be in unison. The thought, the speech and the act, all have to be pure. This is the real Tapas. And they have to be co-ordinated not by the compulsion of duty. The effort must be undertaken for satisfying one’s inner yearnings, for the contentment of the Self. This struggle is the essence of Tapas.

Thapas (bertapa) bukan berarti melakukan postur posisi badan terbalik, kepala berada di tanah dan mengangkat kaki, seperti kelelawar. Bukan pula menolak harta benda dan kekayaan, istri dan anak-anak, menguruskan badan atau mengatur nafas. Tindakan, perkataan, dan pikiran– ketiganya haruslah sejalan. Pikiran, perkataan, dan perbuatan semuanya harus murni. Inilah Thapas yang sebenarnya. Dan mereka harus diseimbangkan bukan karena paksaan. Usaha-usaha harus dilakukan untuk memenuhi kerinduan batin untuk kepuasan sang diri. Perjuangan ini adalah esensi dari Thapas.

- Vidya Vahini, Chap 12.

Sai Inspires 26th July 2010


The contemplation of death is the very foundation of spiritual discipline. Without it, you are certain to fall into falsehood, pursuing the objects of sense-pleasure and trying to accumulate worldly riches. Death is no ominous calamity. It is a step into the auspicious brightness beyond. It is inescapable; it cannot be bribed away or adjourned by certificates of good conduct or testimonials from the great. Once born, death is inevitable. You must perform deeds which breed no bad consequences. Engage every day in every activity as an offering to God. Then you need not taken repeated births and can escape death. This inquiry is the very core of spiritual path and will help you achieve immortality.

Merenungkan kematian merupakan dasar dari disiplin spiritual. Tanpa hal tersebut, engkau pasti akan jatuh ke dalam kepalsuan, mengejar objek-objek kesenangan duniawi dan mencoba untuk mengumpulkan kekayaan duniawi. Kematian adalah bencana yang tidak menyenangkan. Ini adalah langkah menuju pencerahan yang melampaui segalanya. Hal ini tidak bisa dihindari, tidak bisa disuap atau ditunda oleh surat keterangan kelakukan baik atau surat keterangan dari penguasa. Setelah lahir, kematian tidak bisa dihindari. Engkau harus melakukan perbuatan yang tidak menimbulkan konsekuensi yang buruk. Libatkanlah dirimu setiap hari dalam setiap kegiatan sebagai persembahan kepada Tuhan. Maka engkau tidak perlu dilahirkan kembali berulang-ulang dan dapat menghindari kematian. Pernyataan ini adalah inti dari jalan spiritual dan akan membantumu mencapai keabadian.

- Divine Discourse, Guru Poornima, 18 July 1970

Sunday, July 25, 2010

Sai Inspires 25th July 2010


Gu represents darkness and ru means to dispel. Therefore, Guru Poornima is the day when we decimate the darkness of our ignorance and fill it with joy and bliss. This is the true significance of Guru Poornima and not worshipping the feet or circumambulating or offering contributions to the gurus who give a mantra to recite or anything of that sort. Therefore, on this sacred day, we should strive to make the principle of our heart within poorna or full by contemplating on divinity, augmenting our purity, and sincerely endeavouring to understand our innate atmic principle.

Gu melambangkan kegelapan dan ru berarti untuk menghilangkan. Oleh karena itu, Guru Poornima adalah hari ketika kita menghancurkan kegelapan ketidaktahuan kita dan mengisinya dengan penuh sukacita dan kebahagiaan. Ini adalah arti sebenarnya dari Guru Poornima dan bukan hanya sekedar menyembah kaki padma Tuhan atau nagarsankirtan atau memberikan persembahan kepada guru yang mengajarkan mantra atau yang semacam itu. Oleh karena itu, pada hari suci ini, kita seharusnya berusaha untuk membuat prinsip di dalam hati kita menjadi poorna atau penuh dengan merenungkan Tuhan, meningkatkan kemurnian kita, dan dengan sungguh-sungguh berusaha memahami prinsip sejati kita yaitu prinsip atma.

- Divine Discourse, Guru Poornima July 13, 1984

Saturday, July 24, 2010

Sai Inspires 24th July 2010


Today people have lost the precious virtue of fear of sin. It is only lack of fear of sin that is responsible for the present plight of society. People these days are committing several sins with the notion that God is kind and will ultimately forgive their sins. With this belief, they are indulging in increasingly more sinful acts. They have developed a sort of complacency and think that they can escape punishment. But the fact is otherwise. Though God is compassionate and may forgive all sinful acts, every human being has to necessarily pay for his/her sins. For morality to exist in society, fear of sin is essential. Hence everyone must develop the three qualities of: love for God, fear of sin and morality in society.

Saat ini orang-orang telah kehilangan kebajikan dan tidak takut berbuat dosa. Ini dikarenakan ketidaktahuan bahwa takut berbuat dosalah yang bertanggung jawab atas penderitaan masyarakat sekarang. Saat ini orang melakukan beberapa dosa dengan keyakinan bahwa Tuhan sangatlah baik dan pada akhirnya akan mengampuni dosa-dosa mereka. Dengan keyakinan ini, mereka terlibat dalam perbuatan berdosa, lagi dan lagi. Mereka telah melakukan perbuatan untuk kepuasan mereka sendiri dan berpikir bahwa mereka dapat lolos dari hukuman. Tetapi faktanya adalah sebaliknya. Meskipun Tuhan mengasihi dan akan mengampuni semua perbuatan dosa, setiap manusia haruslah selalu membayar dosa yang telah dilakukannya. Agar moralitas tetap ada dalam masyarakat, takut berbuat dosa sangatlah penting. Oleh karena itu setiap orang harus mengembangkan tiga sifat berikut ini: mencintai Tuhan, takut berbuat dosa, serta menjaga moralitas dalam masyarakat.

-Divine Discourse, Guru Poornima, July 6, 2009

Friday, July 23, 2010

Sai Inspires 23rd July 2010


You must learn how to make your parents happy. Today, parents are being treated like servants. Some parents are being admitted into old age homes, when there is shortage of money. This is not correct. It is your responsibility to look after your parents and provide necessary support to them. They should not be sent to old age homes. You must keep them with you and serve them. You need not prepare special items for their sake. It is enough if you can give them what you are eating. Whatever job you take up, you must always serve your parents and make them happy. Serving your parents must be the greatest fortune you must aspire for. It is enough if you take care of your parents, children and family. That is the hallmark of real education.

Engkau harus belajar bagaimana membuat orang tuamu bahagia. Saat ini, orang tua diperlakukan seperti pelayan. Beberapa orangtua bahkan dirawat di panti jompo, bila ada kekurangan uang. Hal ini tidaklah benar. Merupakan tanggung jawab-mu untuk merawat orang tuamu dan menyediakan semua kebutuhan mereka. Mereka seharusnya tidak dikirim ke panti jompo. Engkau harus memperhatikan mereka dan melayani mereka. Engkau tidak perlu menyediakan barang-barang khusus untuk kepentingan mereka. Sudah cukup jika engkau bisa memberikan apa yang seperti engkau makan. Apapun pekerjaanmu, engkau harus selalu melayani orang tuamu dan membuat mereka bahagia. Melayani orang tuamu harus menjadi bagian terbesar yang engkau inginkan. Sudah cukup jika engkau mengurus orang tuamu, anak-anakmu, dan keluargamu. Itu adalah ciri dari pendidikan yang sebenarnya.

- Divine Discourse, Guru Poornima, July 7, 2009

Sai Inspires 22nd July 2010


Withdrawal from sensory objects is an important virtue. It implies a state of mind that is above and beyond all dualities that agitate and affect common people, such as joy and grief. Withdrawal from sensory objects can be achieved while engaged in day to day living. Do not look at the world with a worldly eye. Then, even you can escape from the opposites of grief and joy, and attain balance and equal mindedness. You experience the One as many because of the mind playing its games. Practice seeing everything as a projection/extension of the Loving Lord. Then, you will be able to cross the horizon of dualities into the region of One.

Menarik diri dari objek-objek duniawi adalah kebajikan yang utama. Ini menyiratkan suatu keadaan pikiran yang berada jauh di atas dan melampaui segala dualitas yang mengganggu dan mempengaruhi orang kebanyakan, seperti kegembiraan dan kesedihan. Menarik diri dari objek-objek duniawi dapat dicapai ketika disibukkan dalam kehidupan sehari-hari. Janganlah melihat dunia dengan mata duniawi. Selanjutnya, bahkan engkau dapat melarikan diri dari duka dan sukacita, dan mencapai keseimbangan dan pikiran yang sama. Engkau mengalami bahwa Tuhan ada banyak, disebabkan karena pikiran yang memainkannya. Praktekkanlah melihat segala sesuatu sebagai sebuah proyeksi / perpanjangan dari Tuhan. Kemudian, engkau akan mampu melintasi cakrawala dualitas menuju Tuhan.

- Sutra Vahini, Chap 1, "Six Primary Virtues".

Wednesday, July 21, 2010

Sai Inspires 21st July 2010


Your very nature is Prema (Love). You cannot survive even for a moment when deprived of Love. It is the very breadth of your life. When the six vices to which you were attached so long disappear, Love becomes the only occupant of your heart. Love has to find an object, a loved one. It cannot remain alone. You will then direct it to the charming, sweet Lord, who is Purity Personified, who is the embodiment of service, sacrifice and selflessness and who has taken residence in the cleansed altar of your heart. Then, there will be no scope for any other attachment to grow. Step by step, this love for God will become deeper, purer, more self-denying, until at last, there is no need for thoughts, and the individual is merged in the Universal.

Sifat sejatimu adalah Prema (Cinta-kasih). Engkau tidak dapat bertahan bahkan untuk sesaat, ketika kehilangan Cinta-kasih. Cinta-kasih adalah nafas hidupmu. Ketika enam sifat-sifat buruk, yang melekat begitu lama dalam dirimu menghilang, Cinta-kasih menjadi satu-satunya penghuni dalam hatimu. Cinta-kasih harus menemukan sebuah obyek, orang yang dicintai. Ia tidak bisa tinggal sendiri. Engkau kemudian mengarahkannya pada sifat-sifat Tuhan yang menarik, yang memiliki Kemurnian, yang merupakan perwujudan dari pelayanan, pengorbanan, dan tidak mementingkan diri sendiri dan yang telah bersemayam dalam altar yang telah dibersihkan dalam hatimu. Kemudian, tidak akan ada lagi kesempatan bagi kemelekatan duniawi yang tumbuh disana. Langkah demi langkah, cinta-kasih untuk Tuhan ini akan menjadi semakin dalam, lebih murni, lebih masuk ke dalam diri sampai akhirnya tidak ada keinginan untuk pikiran, dan individu akan menyatu dengan Yang Universal.

- Bhagavatha Vahini, Ch 1, "The Bhagavatha"

Sai Inspires 20th July 2010


If you desire to wash off the dirt accumulated from the clothes you wear, you need both soap and clean water. So too, if you are anxious to remove the impurities that have got accumulated in the mind, both Vidya (spiritual knowledge) and Thapas (penance) are essential. Only when both are used can the levels of consciousness be thoroughly cleansed. No vehicle can move without at least two wheels, nor can a bird fly with just one wing. So too, no one can be rendered holy or purified without Vidya and Thapas.

Jika engkau ingin membersihkan kotoran yang telah menumpuk dari pakaian yang engkau kenakan, engkau membutuhkan sabun dan air bersih. Demikian juga, jika engkau ingin menghapus kotoran yang melekat dalam pikiran, Vidya (pengetahuan spiritual) dan Thapas (tapa) adalah yang terpenting yang harus dilakukan. Hanya ketika keduanya digunakan, tingkat kesadaran dibersihkan secara menyeluruh. Tidak ada kendaraan yang dapat bergerak tanpa memiliki paling sedikit dua roda, begitu pun burung tidak dapat terbang hanya dengan satu sayap. Demikian juga, tidak seorang pun dapat disucikan atau dimurnikan tanpa Vidya dan Thapas.

Vidya Vahini, Chap XII.

Sai Inspires 19th July 2010


The mind is a bundle of thoughts, a complex collection of wants and wishes. As soon as a thought, desire or wish raises its head in the mind, the intellect must probe its value and validity. Is it good or bad? Will it help or hinder? Where will this lead? Where will it end? If the mind does not submit to this probe, it will land itself on the path of ruin. If it does and obeys the intelligence, it will move along the right path.

Pikiran adalah sekumpulan gagasan-gagasan, gabungan dari keinginan-keinginan dan harapan-harapan. Saat gagasan, keinginan maupun harapan muncul dalam pikiran, intelek kemudian memeriksa sejauh mana nilai serta validitasnya. Apakah itu baik atau buruk? Apakah akan membantu atau menghambat? Kemana akan mengarahkan kita? Dimana akan berakhir? Jika pikiran tidak tunduk pada penyelidikan ini, ia akan mendarat di jalan kehancuran. Jika pikiran mematuhi akal-budi, ia akan bergerak sepanjang jalan yang benar.

-Sutra Vahini, Chap "Six Primary Virtues" .

Sunday, July 18, 2010

Sai Inspires 18th July 2010


Through the process of listening to the glory of God, an impure heart will be transformed into a pure, illumined heart shining with divine light. To the foul odors of sense-pursuits, keenness to listen to the splendor of God is a valuable disinfectant, besides being in itself so full of sweet fragrance. The listening will cleanse the heart through the prompting it gives for good work. Such a cleansed heart is the most appropriate altar. In that fragrant bower, the Lord will establish Himself. At that very moment, another event too will occur. The group of six vices that had infested the heart will quit without any farewell. When these vices quit, the wicked retinue of evil tendencies and vulgar attitudes which live on them will break camp and disappear without a trace! Then, you will shine in your native splendour of Truth and Love, an d be successful in merging with the Universal and Eternal.

Dengan mendengarkan kemuliaan Tuhan, hati yang tidak murni akan dimurnikan, hati menjadi bersinar diterangi dengan cahaya Ilahi. Untuk hal-hal buruk yang berasal dari pengejaran - indera, kemauan untuk mendengarkan kemuliaan Tuhan adalah disinfektan yang sangat berharga, sehingga hati dipenuhi dengan keharuman. Mendengarkan kemuliaan Tuhan akan memurnikan hati melalui dorongan untuk bekerja dengan baik. Hati yang telah dimurnikan seperti itu adalah altar yang paling sesuai. Dalam kediaman yang semerbak ini, Tuhan akan bersemayam. Pada saat itu, peristiwa lain juga akan terjadi. Enam sifat buruk yang telah memenuhi hati akan keluar dari hati tanpa perpisahan apapun. Ketika sifat-sifat buruk ini telah keluar, semua sifat-sifat buruk yang hidup dengannya akan menghilang tanpa jejak! Kemudian, engkau akan bersinar dalam kemuliaanmu yang sejati dalam Kebenaran dan Cinta, dan berhasil menyatu dengan Yang Universal dan Abadi.


- Bhagavatha Vahini, Ch. 1 "The Bhagavatha”

Saturday, July 17, 2010

Sai Inspires 17th July 2010


Knowledge can be considered as having two aspects: Baahya Vidya and Brahma Vidya.Baahya Vidya provides the wherewithal for human livelihood. You can study many subjects, earn valuable degrees, acquire lucrative job and manage to spend your life with no worry and fear. This type of Vidya helps you perform whatever job you may doing, be it that of a humble clerk or a prime minister. Brahma Vidya, on the other hand, endows you with the strength, that will enable you to discharge successfully the duty you owe to yourself. It lays down the path which leads both to joy in worldly relations and bliss in the life beyond. Therefore, Brahma Vidya is far superior to all Vidya available to man on earth.

Pengetahuan dapat dianggap memiliki dua aspek: Baahya Vidya dan Brahma Vidya. Baahya Vidya menyediakan alat-alat yang diperlukan untuk kelangsungan hidup manusia. Engkau dapat mempelajari banyak mata pelajaran, memperoleh gelar yang bergengsi, mendapatkan pekerjaan yang menghasilkan banyak uang dan hidup tanpa perasaan khawatir dan takut. Vidya jenis ini membantumu melakukan apapun pekerjaan yang engkau lakukan, baik menjadi pegawai rendahan atau Perdana Menteri. Di sisi lain, Brahma Vidya, memberkatimu dengan kekuatan, yang akan memungkinkanmu untuk berhasil melaksanakan kewajiban yang dibebankan kepadamu. Hal ini akan mengarahkanmu menuju kebahagiaan duniawi dan akhirat. Oleh karena itu, Brahma Vidya jauh lebih unggul dari semua Vidya yang tersedia untuk manusia di bumi ini.

- Vidya Vahini, Chapter 12

Friday, July 16, 2010

Sai Inspires 16th July 2010


Control of the body and senses can be achieved only by spiritual practices and not by any other means. You must avoid wasting precious time in useless pursuits. You must be ever vigilant and engage the senses of perception and action by performing congenial and noble tasks to keep yourself busy. There should be no room for sloth to creep in. Also, every act must promote the good of others. Thus, while performing your daily duties in this manner, you can sublimate the body and senses, and uplift yourself.

Mengendalikan badan dan indera dapat dicapai hanya dengan melakukan praktek-praktek spiritual dan tidak dengan cara lainnya. Engkau harus menghindari membuang-buang waktu yang berharga dalam pengejaran yang sia-sia. Engkau harus selalu waspada dan melibatkan persepsi indera dan tindakan dengan melakukan tugas menyenangkan dan mulia untuk menjaga dirimu tetap sibuk. Seharusnya tidak ada ruang bagi kemalasan yang bergerak pelan-pelan untuk masuk, setiap tindakan seharusnya untuk kebaikan orang lain. Jadi, pada saat engkau menjalankan tugas sehari-hari dengan cara ini, engkau dapat menghaluskan badan dan indera, dan dapat meningkatkan dirimu sendiri.

- Sutra Vahini, Chap 1 "Six Primary Virtuess".

Thursday, July 15, 2010

Sai Inspires 15th July 2010


The person who expounds the glory of God must have the thrill of genuine experience. Then you are supremely lucky as a listener, for it yields the best results. The expounder's face will blossom with joy; their eyes will shed tears of bliss at the very contemplation of the glory of God. When you listen, you should catch that inspiration. Then, you will experience that joy yourself. When an infant smiles, those around also smile in unison. Similarly, the words of those who are saturated with devotion to God will saturate the hearts of those who listen too with devotion and joy. It is impossible to measure the profit that one can derive while in the company of the pious and the great.

Orang-orang yang menguraikan secara terperinci kemuliaan Tuhan harus memiliki getaran hati yang berasal dari pengalaman sejati. Selanjutnya engkau sangat beruntung sebagai pendengarnya, karena akan mendapatkan hasil yang terbaik. Wajah mereka akan mekar penuh dengan kebahagiaan; mata mereka akan meneteskan air mata kebahagiaan pada perenungan kemuliaan Tuhan. Ketika engkau mendengarkan kisah kemuliaan Tuhan, engkau seharusnya menangkap inspirasi tersebut. Selanjutnya, engkau akan mengalami kebahagiaan pada dirimu sendiri. Ketika bayi tersenyum, serentak orang di sekitarnya juga akan tersenyum. Demikian juga, kata-kata yang berasal dari orang-orang yang dipenuhi dengan bhakti pada Tuhan akan memenuhi hati orang-orang yang mendengarkannya juga dengan penuh bhakti dan kebahagiaan. Tidak mungkin untuk mengukur keuntungan bahwa seseorang bisa memperoleh pergaulan yang baik dan agung.

- Bhagavatha Vahini, Chap 1, "The Bhagavatha"

Wednesday, July 14, 2010

Sai Inspires 14th July 2010


Knowledge was compared to light and ignorance to darkness by the ancients. Vid is the root of the word Vidya.Vid means light, Ya means what. So, the meaning of the term ‘Vidya’ is that which gives light. From this term, it is evident that Brahma Vidya (knowledge of the Self) alone deserves to be known as Vidya, as it illumines our minds. Just as light and darkness cannot co-exist in the same place at the same time, Vidya and Avidya (ignorance) cannot be together. So, when you journey along the path of progress, you must purify your consciousness and illumine yourself with Brahma Vidya.

Pengetahuan diibaratkan dengan cahaya sedangkan ketidaktahuan diibaratkan dengan kegelapan oleh orang zaman dahulu. 'Vid' adalah akar kata 'Vidya'. 'Vid' berarti 'cahaya'. 'Ya' berarti 'apa'. Jadi, makna istilah 'Vidya' adalah yang memberikan cahaya. Dari istilah ini, jelas bahwa Brahma Vidya (pengetahuan tentang Atma) seharusnya dikenal sebagai Vidya, karena menerangi pikiran kita. Sama seperti cahaya dan kegelapan tidak dapat hidup berdampingan di tempat yang sama pada saat yang sama, Vidya dan Avidya (kebodohan batin) tidak dapat bersama-sama. Jadi, ketika engkau melakukan perjalanan menuju kemajuan spiritual, engkau harus menyucikan kesadaranmu dan menerangi dirimu sendiri dengan Brahma Vidya.

-Vidya Vahini, Chap 12

Tuesday, July 13, 2010

Sai Inspires 13th July 2010


Reading and enjoying the stories of the glory of the Lord in some sacred spot like temple, prayer hall, shrine, hermitage of a saint, or in the company of virtuous and good people, is a source of great inspiration and joy. It will make you forget everything else. Taste for such wholesome literature is the result of accumulated merit and endeavour. You can even approach pious men, serve them and listen to their exposition of the glory of God. Listening alone will be enough in the beginning. Later, the stories will arouse interest in the nature and characteristics of God and the aspirants will find and seek for themselves the path to Self-realization.

Membaca dan menikmati kisah kemuliaan Tuhan di beberapa tempat suci seperti temple (Pura), ruang doa, kuil, pertapaan orang suci, atau dalam pergaulan dengan orang-orang saleh dan baik, merupakan sumber inspirasi dan kebahagiaan yang besar. Ini akan membuatmu melupakan hal-hal yang lainnya. Merasakan beberapa literatur yang bermanfaat tersebut adalah merupakan hasil akumulasi dari kebaikan dan usaha yang telah dilakukan. Engkau bahkan bisa mendekati orang-orang yang saleh, melayani mereka dan mendengarkan penjelasan mereka tentang kemuliaan Tuhan. Pada awalnya, mendengarkan saja sudah cukup, selanjutnya kisah-kisah tersebut akan membangkitkan minat pada sifat dan karakteristik Tuhan dan para peminat spiritual akan menemukan dan mencari sendiri jalan menuju kesadaran Atma.

- Bhagavatha Vahini, Chap 1 - "The Bhagavatha".

Monday, July 12, 2010

Sai Inspires 12th July 2010


People have three chief instruments for uplifting themselves: intelligence, mind and senses. When the mind gets enslaved by the senses, you will get entangled and bound. When the same mind is regulated by the intellect, you can become aware of your own Reality. The potency of your mind can be promoted by good practices like meditation, repetition of Lord's Name, devotional singing and worship. The mental power thus gained from spiritual practices should be turned away from wrong paths. Your mind must be released from the hold of the senses and directed by the principle of intelligence. Then, spiritual progress will be rapid.

Orang-orang memiliki tiga instrumen utama untuk meningkatkan diri mereka sendiri, yaitu: kecerdasan, pikiran, dan indera. Ketika pikiran diperbudak oleh indera, engkau akan terjerat dan terikat. Ketika pikiran yang sama diatur oleh intelek, engkau bisa menyadari Realitas dirimu sendiri. Potensi pikiranmu dapat dinaikkan dengan praktek-praktek yang baik seperti meditasi, pengulangan Nama Tuhan, Bhajan, dan bersembahyang. Kekuatan mental yang diperoleh dari praktek-praktek spiritual seharusnya berbalik dari jalan yang salah. Pikiranmu harus dibebaskan dari cengkeraman indera dan diarahkan oleh intelegensi. Kemudian, kemajuan spiritual akan cepat meningkat.

- Sutra Vahini, Ch 1, "Six Primary Virtues".

Sai Inspires 11th July 2010


Of all the professions, the teacher's profession has to adhere utmost to the ideal of truth. When teachers stray from truth, society meets with disaster. Thousands of tender children, unacquainted with the ways of the world, pass through their hands. The impact of their teachings and personality will be great and lasting. Therefore, the teacher has to be free from bad habits, for children automatically adopt the habits and manners of elders. This is an ever-present danger. When the evil influence is directed towards the thousands who receive the impact, society gets polluted.

Dari semua profesi, profesi guru harus sepenuhnya mengikuti kebenaran. Ketika guru menyimpang dari kebenaran, masyarakat akan mengalami bencana. Ribuan anak-anak yang berhati lembut, tidak mengetahui jalan menuju dunia, melalui tangan mereka. Dampak dari ajaran mereka dan kepribadian mereka akan menjadi besar dan abadi. Oleh karena itu, guru harus bebas dari kebiasaan buruk, agar anak-anak secara otomatis mengambil kebiasaan dan perilaku para orang tua. Ini merupakan bahaya yang selalu hadir. Ketika pengaruh jahat diarahkan, ribuan orang yang menerima dampaknya, masyarakat akan tercemar.

- Vidya Vahini, Chapter 7

Sai Inspires 10th July 2010


Mind control is very hard to attain. The mind can cause bondage as well as confer liberation. It is an amalgam of the passionate and ignorant attitudes, and can be easily polluted. It relishes in hiding the real nature of things and casting on them the forms and values that it desires. So you must regulate the activity of the mind. Understand the first characteristic of the mind: it runs helplessly after the senses. Whichever sense the mind follows, it is to invite disaster. When a pot of water becomes empty, we need not infer that it has leaked away through ten holes - one hole is enough to empty it! So too, even if one sense is not under control, you will be thrown into bondage. So, every sense has to be mastered.

Mengendalikan pikiran sangat sulit untuk dicapai. Pikiran dapat menyebabkan perbudakan serta memberi pembebasan. Ini merupakan campuran dari sikap yang penuh keinginan dan kebodohan batin, dan dapat dengan mudah dicemari. Dalam hal ini tersembunyi sifat yang sesungguhnya dari sesuatu hal serta nilai-nilai yang diinginkan. Jadi, engkau harus mengatur aktivitas dari pikiran. Pahamilah karakteristik yang pertama dari pikiran: ia berjalan dengan pasrah disebabkan oleh indera. Apapun yang dilakukan indera, pikiran mengikutinya, hal inilah yang menimbulkan bencana. Bila panci air menjadi kosong, kita tidak perlu menyimpulkan bahwa panci air itu telah bocor disebabkan oleh sepuluh lobang. – satu lobang pun cukup untuk mengosongkannya! Demikian juga, bahkan jika indera tidak dapat dikendalikan, engkau akan dilemparkan ke dalam perbudakan. Jadi, kuasailah indera.

- Sutra Vahini, Chapter 1,"Six Primary Virtues".

Sai Inspires 9th July 2010


Spiritual aspirants will rejoice in listening to the Glory of God. They will join the company which exults in praising the Lord. This is their hallmark. Spiritual aspirants and votaries of the Lord are to be judged using these barometers and not by external appearances or apparel. If you mix with people who revel in sensory talk and activities, then you put yourself out of His Court. Spend your time in the company of the good and godly, engaged in Godly affairs. Avoid the company of the ungodly. Only when you establish yourself in good company and avoid bad company, can you be called as Bhagavatha or God's own!

Para peminat Spiritual akan bersuka cita karena mendengarkan kemuliaan Tuhan. Mereka akan bergabung dengan pergaulan yang menyenangkan dalam memuliakan Tuhan. Ini adalah ciri mereka. Para peminat Spiritual dan Bhakta Tuhan harus dinilai menggunakan barometer ini dan bukan dari penampilan eksternal atau pakaian mereka. Jika engkau bergaul dengan orang-orang yang gemar akan kesenangan indera, maka engkau menempatkan dirimu keluar dari Istana-Nya. Isilah waktumu dalam pergaulan yang baik dan saleh, libatkanlah diri dalam pekerjaan Tuhan. Hindarilah pergaulan dengan orang-orang yang tidak baik. Hanya ketika engkau mengembangkan dirimu dengan pergaulan yang baik dan menghindari pergaulan yang tidak baik, engkau bisa disebut sebagai Bhagavatha atau Tuhan itu sendiri!


- Bhagavatha Vahini, Chapter 1, "The Bhagavatha"

Thursday, July 8, 2010

Sai Inspires 8th July 2010


Sanyasa (monkhood) does not mean the mere acceptance of the fourth stage of life and its rights and obligations, and retirement into forest after breaking off contacts with the world. The monks should be journeying into the far corners of the land and cleanse the society of evil through their example and precept. They should move among people, become aware of their sorrows and joys, and impart the instructions they direly need. They must transform society to be free from vice and wickedness by their teachings.

Sanyasa bukanlah berarti semata-mata menerima keempat tahapan kehidupan serta hak dan kewajiban, kemudian mengundurkan diri ke dalam hutan setelah putus kontak dengan dunia. Para Sanyasin seharusnya melakukan perjalanan jauh ke sudut-sudut negeri dan membersihkan masyarakat dari kejahatan melalui cntoh-contoh dan ajaran-ajaran yang mereka sampaikan. Mereka seharusnya bergerak di antara orang-orang, menjadikan mereka sadar akan penderitaan dan kebahagiaan mereka, dan menyampaikan petunjuk yang mereka perlukan. Mereka harus mengubah masyarakat untuk bebas dari sifat buruk dan kejahatan dengan ajaran-ajaran yang mereka sampaikan.

-Vidya Vahini, Chap, XI.

Wednesday, July 7, 2010

Sai Inspires 7th July 2010


For understanding the Divine, mere yearning to know and the study of Vedas are not sufficient. The primary qualification you must acquire is Viveka: discrimination between the transitory and the eternal. Atma alone suffers no change; it alone is Timeless Truth. You must gain this unshakable conviction and be established in it. The second qualification is renuncition of the desire to enjoy the fruits of one's actions, here and hereafter. This is called Vairagya (Non-Attachment). Non-attachment does not mean giving up hearth and home, spouse and children and taking refuge in forests. It only involves the awareness of the world as transitory and, as a consequence of this awareness, discarding the feelings of 'I' and 'mine'.

Untuk memahami Tuhan, semata-mata kerinduan untuk mengetahui dan mempelajari Kitab Suci Veda tidaklah cukup. Kualifikasi utama yang harus engkau dapatkan adalah Viveka: kemampuan membedakan antara yang fana dan yang abadi. Atma itu sendiri tidak mengalami perubahan, itu adalah Kebenaran Abadi. Engkau harus mencapai keyakinan tak tergoyahkan dan mantap di dalamnya. Kualifikasi kedua adalah penolakan dari keinginan untuk menikmati buah perbuatannya, di dunia dan akhirat. Ini disebut dengan Vairagya (Tanpa-Keterikatan). Tanpa-keterikatan bukanlah berarti melepaskan rumah dan keluarga, suami/ istri dan anak-anak dan kemudian mengungsi ke hutan. Hal ini hanya melibatkan kesadaran dunia yang sementara dan sebagai konsekuensi dari kesadaran ini, lepaskanlah perasaan "aku" dan "kepunyaanku."

- Sutra Vahini, Chap I, "Qualifications for inquiring into Brahman"

Tuesday, July 6, 2010

Sai Inspires 6th July 2010


The infant does not know the taste of milk. By taking it daily, it develops an attachment for it which is so deep that when milk is to be given up and rice substituted, it starts to protest. But the mother does not despair. She persuades the child to take small quantities of cooked rice daily and through this process, the child starts liking rice and gives up milk. By practice, rice now becomes the child's natural food, so natural that if rice is not available even for a single day, it becomes miserable. So too, sensual pleasures are ‘natural’ at first. However, by means of practice, listening to the words of the wise, slowly, you will derive greater joy listening to the glories of God. Thereafter, you cannot exist without that holy atmosphere even for a minute. The company of the worldly chatter will no longer attract you. You will feel that there is nothing as sweet as the experience of listening to the splendour of the Lord.

Bayi tidak mengetahui rasa dari susu. Dengan meminumnya setiap hari, akan menimbulkan keterikatan yang begitu mendalam, dan bayi akan mulai protes ketika pemberian susu harus dihentikan dan digantikan dengan nasi. Tetapi si ibu tidak berputus-asa. Ibu berusaha membujuk anak untuk memberikan nasi sedikit demi sedikit setiap hari dan melalui proses ini, anak mulai menyukai nasi dan meninggalkan susu. Dengan latihan ini, sekarang nasi menjadi makanan pokok anak sehari-hari, begitu natural sehingga bahkan jika nasi tidak tersedia untuk satu hari, itu menjadi menyedihkan. Demikian juga, kesenangan duniawi yang pada awalnya 'natural'. Namun, dengan cara praktek, mendengarkan kata-kata bijak, pelan-pelan engkau akan mendapatkan kebahagiaan sejati yang lebih besar ketika mendengarkan kemuliaan Tuhan. Setelah itu, engkau tidak bisa hidup tanpa adanya atmosfir kesucian walaupun cuma sebentar. Pergaulan dan obrolan-obrolan duniawi tidak akan lagi menarik perhatianmu. Engkau akan merasakan bahwa tidak ada pengalaman semanis mendengarkan kemuliaan Tuhan.

- Bhagavatha Vahini, Ch. 1, "The Bhagavatha".

Monday, July 5, 2010

Sai Inspires 5th July 2010


The capacity to overcome the gunas (tendencies) of prakriti (Nature) is not inherent in any one; it comes to one with the Grace of the Lord. And that Grace is to be won by japa (repetition of God’s Name) and dhyana (meditation). The truth has to be experienced, in order that it might not slip away from consciousness; and the discipline needed for this is also japa and dhyana. This must first be clearly understood: it is impossible for everyone to control the tendencies of prakriti; the power is possessed only by those who have prakriti in their grip and whose commands prakriti does obey. Prakriti is the basis of everything in the Universe. It is the basis of Creation and Existence. All this is prakriti: men or women, beasts or birds, trees or plants; in fact, all that can be seen is inseparable from prakriti.

Kemampuan untuk mengatasi guna (kecenderungan) dari Prakriti (Alam) tidak melekat pada siapa saja; ia datang pada seseorang karena Berkat Tuhan. Dan Berkat Tuhan itu harus dimenangkan dengan melakukan Japa (Pengulangan Nama Tuhan) dan Dhyana (Meditasi). Kebenaran harus dialami, agar supaya kemampuan itu tidak bisa melepaskan diri dari kesadaran; dan disiplin yang diperlukan untuk ini juga Japa dan Dhyana. Pertama-tama hal ini harus dipahami dengan jelas: tidak mungkin bagi setiap orang untuk mengendalikan kecenderungan Prakriti; kekuatan hanya dimiliki oleh mereka yang telah memiliki Prakriti dalam genggaman mereka dan yang mematuhi perintah Prakriti. Prakriti adalah dasar dari segala sesuatu di alam semesta. Ini adalah dasar dari Penciptaan dan Keberadaan. Semua ini adalah Prakriti: laki-laki atau perempuan, hewan atau burung, pohon atau tanaman, bahkan, semua yang dapat dilihat tidak dapat dipisahkan dari Prakriti.

- Dhyana Vahini, Page 18.

Sunday, July 4, 2010

Sai Inspires 4th July 2010


Ajnana (Ignorance) and Dukha (Sorrow) cannot be destroyed by rituals and rites. This is the lesson the scriptures teach us. However, what is happening now is that people have forgotten their real nature. They believe that they are the body and the senses, and crave for objective pleasures. They delude themselves that they can secure joy by catering to the body and senses. Such attempts cannot earn bliss. Instead, they earn disillusionment, defeat and disaster; they reap sorrow and joy in quick succession. The ajnana can only be destroyed with the knowledge of the Divine Self. When illusion disappears, the sorrow produced by one's involvement in the ups and downs of the world is destroyed and one can realize that humanity is the Embodiment of Bliss.

Ajnana (kebodohan) dan Dukha (kesedihan) tidak dapat dihancurkan dengan ritual dan upacara. Ini adalah pelajaran dari kitab suci. Namun, apa yang terjadi sekarang adalah bahwa orang-orang telah melupakan sifat mereka yang sebenarnya. Mereka percaya bahwa mereka adalah badan dan indera, dan menginginkan kesenangan duniawi. Mereka menipu diri mereka sendiri bahwa mereka dapat memperoleh kebahagiaan dengan melayani badan dan indera. Upaya-upaya tersebut tidak bisa mendapatkan kebahagiaan. Sebaliknya, mereka mendapatkan kekecewaan, kekalahan, dan bencana; mereka menuai kesedihan dan kegembiraan silih berganti. Ajnana hanya dapat dihancurkan dengan pengetahuan Ketuhanan. Ketika ilusi menghilang, kesedihan yang dihasilkan oleh karena keterlibatan seseorang dalam kebahagiaan dan kesedihan dunia dihancurkan dan orang bisa menyadari bahwa manusia adalah Perwujudan Kebahagiaan.

-Sutra Vahini, Chapter "Humanity is the Embodiment of Bliss".

Saturday, July 3, 2010

Sai Inspires 3rd July 2010


Generally speaking, one gets easily drawn to sense objects, as one becomes a victim of instincts. Instincts readily seek sense objects. Instincts come along with the body and do not require any training, just as an infant seeks milk from the mother's breast and the new born calf nestles at the udder. But for the infant to walk and talk, training is necessary. They are not automatic; these skills are acquired by example and imitation of others. So also, training is essential for the proper pursuit of sense pleasure, for it is the wild, untrained search for such pleasure that promotes anger, hatred, envy, malice and conceit. To train them along salutary lines and to hold them under control, certain good disciplines such as japa (repetition of God’s Name), dhyana (meditation) and upavasa (fasting) are esse ntial.

Secara umum, seseorang akan mudah tertarik pada objek-objek indera, sebagai salah satu korban dari naluri. Naluri sangat mudah untuk mencari objek-objek indera. Naluri datang bersama dengan badan dan tidak memerlukan pelatihan apapun, sama seperti bayi mencari susu dari payudara ibunya dan anak sapi yang baru lahir mendekap ambing sapi itu. Tetapi bagi bayi, untuk berjalan dan berbicara, diperlukan latihan. Hal itu tidak otomatis. Keterampilan ini akan didapat melalui contoh dan meniru dari yang lainnya. Demikian juga, latihan sangat penting untuk mendapatkan kesenangan duniawi yang sepantasnya, karena pencarian yang tidak terlatih dan sembarangan, akan menimbulkan kemarahan, kebencian, iri hati, kedengkian, dan kesombongan. Untuk melatihnya agar tetap berada di sepanjang garis yang bermanfaat dan menjaganya tetap di bawah kontrol, disiplin tertentu seperti Japa (Pengulangan Nama Tuhan), Dhyana (Meditasi) dan Upavasa (Puasa) sangat penting untuk dilakukan.

- Bhagavatha Vahini, Chap.1, "The Bhagavatha".

Sai Inspires 2nd July 2010


Ignoring madhava (God) who is free from maya (delusion) and spending time immersed in maya is fruitless; in this scenario, sorrow alone is the final gain. Whomsoever you love, that love has to come to an end. The self-same Lord gives and takes, as and when He wishes. Everything is His; so how foolish it is to lament when things belonging to Him are taken back by Him? The wise man will therefore not pine over anyone or feel undue attachment to anything. Let all the pining and all the attachment be reserved for the Lord; He alone is eternal; He is the source of all joy. For the rest, love a thing as a thing, not more. Love man as man, not more. If you love them more, it is a sign that you have been deceived about their real nature.

Mengabaikan Madhava (Tuhan) yang bebas dari Maya (khayal) dan menghabiskan waktu tenggelam dalam Maya adalah tidak ada gunanya. Siapapun yang engkau cintai, ingatlah bahwa cinta itu datang dan akan berakhir. Tuhan memberi dan mengambil, sesuai dengan kehendak Beliau. Segalanya adalah Beliau, jadi betapa bodohnya kita meratapi hal-hal milik-Nya diambil kembali oleh-Nya? Oleh karenanya, orang bijaksana tidak akan menginginkan atau merasakan keterikatan duniawi apapun yang tidak sepantasnya. Biarlah semua keinginan dan semua keterikatan duniawi disediakan Tuhan, Beliau adalah kekal, Beliau adalah sumber segala kebahagiaan. Untuk itu, cintalah sesuatu sebagai sesuatu, tidak lebih. Cintai manusia sebagai manusia, tidak lebih. Jika engkau mencintai mereka lebih dari itu, hal ini merupakan tanda bahwa engkau telah ditipu dari kenyataan yang sebenarnya.

- Dharma Vahini, Page 18.

Thursday, July 1, 2010

Sai Inspires 1st July 2010


Man creates and develops in himself an abounding variety of selfish habits and attitudes that leads to great discontent for himself. A person might feel elated that he has become the master of all arts, or owner of all wealth, or possessor of all knowledge; but from whom did he acquire all these? That source must indeed be greater. He might even claim that he earned all this through his own efforts. But surely someone gives it to him, in some form or other. This he cannot gainsay. The source from which all power originates is God. Ignoring the omnipotent Lord and deluding oneself thinking that the little power one has acquired is one's own is indeed egoism.

Manusia membuat dan mengembangkan dalam dirinya dipenuhi dengan berbagai kebiasaan yang mementingkan diri sendiri dan sikap yang menyebabkan ketidakpuasan yang besar bagi dirinya sendiri. Seseorang mungkin merasa senang bahwa ia telah menjadi master dari semua seni, atau pemilik dari semua kekayaan, atau penguasa dari semua pengetahuan, tapi dari siapa ia mendapatkan semua hal tersebut? Sumbernya tentu lebih agung. Manusia mungkin mengatakan bahwa ia mendapatkan semua itu melalui usahanya sendiri. Tapi tentunya siapapun yang memberikan hal tersebut kepadanya, dalam berbagai bentuk atau lainnya, hal ini tidak bisa disangkalnya. Sumbernya adalah Tuhan. Mengabaikan Tuhan Yang Mahakuasa dan menipu diri sendiri, berpikir bahwa kekuatan kecil yang telah didapatkan karena usahanya sendiri tentu merupakan sifat egoisme.

- Prema Vahini, Chapter 10.