The mind must become the servant of the intellect, not the slave of      the senses. It must discriminate and detach itself from the      body. It must be unattached to this casement called body, like      the ripe tamarind fruit, which becomes loose inside the shell.      Strike a green tamarind fruit with a stone and you cause harm to the      pulp inside. But, strike the ripe fruit and see what happens.      It is the dry rind that falls off, nothing affects the pulp or the      seed. Likewise, the ripe aspirant (saadhaka) does not      feel the blows of fate or fortune. It is the unripe one who is      wounded by every blow.
Pikiran harus menjadi hamba bagi kecerdasanmu, bukan menjadi hamba bagi indera. Pikiran harus mampu membedakan dan tidak terikat pada badan. Pikiran harus lepas dari bungkus yang disebut badan, bagaikan buah asam yang masak, yang menjadi lepas didalam kelopaknya. Lemparlah buah asam muda yang masih hijau dengan batu dan engkau akan menyebabkan kerusakan pada buah didalamnya. Namun, lemparlah buah asam yang matang dan lihatlah apa yang terjadi. Kulit keringlah yang berjatuhan, buah didalam atau bijinya tidak terpengaruh. Demikian juga, pencari spiritual (saadhaka) yang telah matang tidak merasakan kemalangan nasib atau keberuntungan. Mereka yang masih mentahlah yang terluka oleh setiap kemalangan.
-Divine  Discourse,      Feb3, 1965.
 
 
No comments:
Post a Comment