Friday, September 28, 2007

Sai Inspires - 28th September 2007 (How can we, as a society, progress in the right direction?)




Society may be viewed as a many-petalled flower. Every individual is like a petal. All the petals together make for the beauty of the flower. Without the petals there will be no flower. Likewise, every individual is a petal making up the flower of society. Each one should manifest the glory of the Divine. Society may also be compared to a four-wheeled chariot. The four wheels are: Aikamathyam (Unity), Swaadhenam (Control), Jnanam (Knowledge) and Sakhti (Power). These four help the society to go forward.

Masyarakat dapat diibaratkan sebagai sekuntum bunga yang memiliki banyak kelopak, dimana setiap kelopak tersebut merepresentasikan masing-masing individu. Kumpulan daun-daun kelopak itu membentuk keindahan sekuntum bunga. Bila tidak ada kelopak, maka dengan sendirinya tidak akan terdapat bunga. Demikian pula analoginya, setiap orang individu diibaratkan sebagai kelopak yang berkumpul sehingga menghasilkan sekuntum bunga (baca: masyarakat). Setiap orang hendaknya memanifestasikan kemuliaan Divine. Masyarakat dapat juga dibandingkan dengan kereta beroda-empat. Keempat roda tersebut terdiri atas: Aikamathyam (Unity/persatuan), Swaadhenam (Control/pengendalian diri), Jnanam (Knowledge/Pengetahuan/kebijaksanaan) dan Shakti (Power/Kemampuan). Keempat roda tersebut akan mendorong masyarakat untuk bergerak maju.

- Divine Discourse, September 26, 1987.

Thursday, September 27, 2007

Sai Inspires - 27th September 2007 (What is the Truth about our everyday existence that we must realise?)




Many people imagine that they are caught up in the coils of Samsaara (worldly life) and are the victims of worldly existence. This is a ridiculous idea. It is not family life that binds you. It has no arms to clasp you. It is you who are endowed with hands, eyes and ears. It is you who are holding on to worldly life and suffering the consequences. This is the truth in the false and the unreality in the Real. This accounts for the fact that in the world today the false is deemed true and the truth is considered as untrue.

Banyak orang yang beranggapan bahwa mereka terperangkap dalam kehidupan Samsaara (kehidupan duniawi) dan menjadi korban eksistensi dunia ini. Pendapat seperti itu sesungguhnya amatlah mengelikan, sebab yang mengikatmu bukanlah kehidupan berkeluarga (family life). Ia tidak memiliki tangan untuk menjeratmu. Justru engkau sendirilah yang dibekali dengan tangan, mata dan telinga. Jadi, engkau sendirilah yang berpegang-erat kepada kehidupan duniawi dan sebagai akibatnya, yang menderita adalah dirimu sendiri. Hal ini bagaikan kebenaran di tengah-tengah kepalsuan dan ketidak-realitasan di tengah-tengah realitas. Inilah biang-kerok yang menyebabkan seolah-olah sesuatu yang salah malah dianggap sebagai benar; dan sebaliknya, yang benar dianggap salah.

- Divine Discourse, December 18, 1994.

Wednesday, September 26, 2007

Sai Inspires - 26th September 2007 (the single most important virtue that can ensure perennial peace)



All must cultivate the spirit of equal-mindedness. This is the mark of a true human being. It is the spirit of serenity in which one looks upon praise or blame, honour or dishonour, pleasure or pain alike. We tend to shrivel up when somebody abuses us. The whole world looks gloomy. We swell with pride when anybody praises us. What we should cultivate is an attitude in which we remain unaffected in both the situations. Shanthi (mental tranquility) is necessary for experiencing the truth of the Self. There is no greater thing on earth than peace of mind. Every effort must be made to acquire Shanthi.

Setiap orang harus mengembangkan semangat keseimbangan-batin (equal-mindedness). Inilah pertanda manusia sejati. Dengan batin yang tenang, engkau akan bersikap seimbang; baik ketika berhadapan dengan pujian maupun celaan, dihormati ataupun tidak, rasa senang maupun sedih. Kita cenderung menjadi rendah-diri ketika seseorang berperilaku secara tidak bersahabat terhadap kita, dan sebaliknya kita akan menjadi sombong ketika ada yang memuji-muji kita. Yang perlu kita upayakan adalah sikap dimana kita tidak terpengaruh oleh kedua jenis situasi tersebut. Shanthi (ketenangan batin) sangat dibutuhkan agar kita dapat mengalami sendiri kebenaran Sang Atma (the Self). Tiada hal lain yang lebih berharga di dunia ini daripada ketenangan batin. Segenap daya-upaya perlu dikerahkan untuk mencapai Shanthi.

- Divine Discourse, May 26, 1985.

Tuesday, September 25, 2007

Sai Inspires - 25th September 2007 (How can we effectively enhance the good traits in us?)


Whatever qualities a man may possess, he cannot make proper use of them if he lacks company of good people. Through the Satsangam (company of good persons) one can develop good qualites, good thoughts, good feelings and do good deeds, and thereby transform his human nature into Divine nature. This, in fact, is the primary duty of every individual. To develop good qualities, one has to get rid of one's bad traits.

Tanpa didukung oleh pergaulan yang baik, engkau tidak akan bisa mendaya-gunakan secara positif kualitas-kualitas bajik yang ada di dalam dirimu. Hanya melalui Satsangam (pergaulan dengan mereka yang saleh), engkau akan bisa mengembangkan kualitas (diri), pemikiran, perasaan serta perbuatan yang bajik; sehingga dengan demikian, aspek kemanusiaanmu akan mengalami transformasi menjadi Divine. Inilah tugas utama yang harus diemban oleh setiap individu Guna mengembangkan kualitas (diri) yang positif, engkau perlu (terlebih dahulu) berupaya dalam mengenyahkan sifat-sifat yang jelek (negatif).

- Divine Discourse, May 26, 1985.

Monday, September 24, 2007

Sai Inspires - 24th September 2007 (How can we experience perennial peace and bliss with the love that is present in our hearts?)



Nectar is described by the scriptures as extremely sweet. But nectar nowhere approaches the sweetness of love. As against love, nectar appears insipid. The uniqueness of such love is beyond the comprehension of ordinary people. Such love arises only when you churn the ocean of bliss. Hence, all our actions should be based on Love. But in this mundane world, love assumes external forms. When pure gold is given to the goldsmith for making a jewel, he mixes copper and other metals with it and thereby its value is reduced. Likewise, because pure love is mixed with worldly attachments, it gets tainted. But when such tainted love is directed towards seva (service) it gets purified.

Di dalam kitab-kitab suci, nectar (minuman lezat yang konon merupakan minuman para dewa) disebut-sebut sebagai minuman yang sangat manis. Akan tetapi, walaupun begitu, rasa manis nectar masih belum bisa menyamai manisnya cinta-kasih. Bila dibandingkan dengan cinta-kasih, nectar terasa hambar. Keunikan cinta-kasih berada di luar jangkauan pemahaman manusia biasa. Cinta-kasih demikian hanya muncul apabila engkau melakukan penggodokan terhadap lautan bliss. Oleh sebab itu, hendaknya setiap tindakan kita dilandasi atau dijiwai oleh cinta-kasih. Namun di tengah-tengah dunia fana ini, cinta-kasih mengambil wujud dalam berbagai bentuk. Ketika sebongkah emas murni diserahkan kepada tukang emas untuk dibuatkan perhiasan, maka ia akan mencampurkan tembaga dan zat-zat logam lainnya, sehingga nilai emas itupun menjadi berkurang. Demikian pula, apabila cinta-kasih murni dicampur dengan kemelekatan duniawi, maka cinta-kasih menjadi ternoda. Akan tetapi walaupun begitu, apabila cinta-kasih yang sudah tidak murni ini dapat engkau arahkan melalui tindakan seva (pelayanan), maka ia akan mengalami proses pemurnian kembali.

- Divine Discourse, November 24, 1990.

Sai Inspires - 23rd September 2007 (Points to consider while engaged in service activities)



Indulging in flimsy gossip and watching scenes of violence and cruelty, men today are wasting and missing a big portion of their precious lives. Time is condemned, because it is too little, or because it runs too fast to fulfill galloping greed. Men are not aware that time sanctified by service offers high rewards to themselves as well as those whom they serve. All acts of service are not equally sanctifying or uniform in the benefits they confer. When service is undertaken by power-hungry people, or under compulsion or by imitative urges, it results in more harm than good. Self-aggrandizement or competition or ostentation are motives that will pollute the sacred Sadhana of Service.

Sebagian besar dari rentang kehidupanmu akan terbuang secara sia-sia apabila engkau melibatkan dirimu dalam gosip yang omong-kosong atau apabila engkau menonton pemandangan yang penuh dengan tindak kekerasan ataupun kekejaman. Malah ada orang yang menyalahkan waktu yang dikatakanya berlalu terlalu cepat atau terlalu sedikit waktu untuk memenuhi keinginannya yang menggunung. Mereka tidak menyadari bahwa waktu yang dimanfaatkan secara baik dan disucikan oleh tindakan pelayanan akan memberikan imbalan yang setimpal kepada mereka sendiri dan juga kepada mereka yang dilayani. Tindakan pelayanan membuahkan manfaat yang tidaklah sama untuk setiap orang. Apabila pelayanan dilakukan oleh orang-orang yang haus akan kekuasaan, atau yang berada dibawah dorongan atau motif yang palsu; maka hasilnya justru akan menjadi tidak baik. Kesucian dari sadhana pelayanan akan tercemar oleh kegiatan pelayanan yang dimotivasi oleh keinginan untuk menonjolkan diri sendiri, sikap kompetitif dan sok-pamer.

- Divine Discourse, November 21, 1986.

Saturday, September 22, 2007

Sai Inspires - 22nd September 2007 (love principle and its true nature)



The Trinity is symbolically present in everyone. The heart has been equated with Easwara (Shiva). This means that the heart symbolizes the Atmic principle in man. This refers not to physical heart but to the spiritual heart. The heart represents Divinity as well as the Love principle. The Atma is unbounded and hence Love also has no limit. Men in their narrow-mindedness may set limits to their love, but love as a Divine quality is infinite.

Secara simbolis, Trinitas (Brahma-Vishnu-Maheswara) telah eksis di dalam diri setiap orang. Hati (nurani) diasosiasikan sebagai Easwara (Shiva). Dengan perkataan lain, hati (nurani) merupakan simbolisasi prinsip Atmic di dalam diri manusia. Yang dimaksudkan dengan hati di sini bukanlah jantung (yang berfungsi untuk memompa aliran darah kepada seluruh organ tubuh), melainkan adalah jantung atau hati spiritual. Spiritual heart tersebut merepresentasikan Divinity dan sekaligus prinsip cinta-kasih. Atma bersifat tak terbatas atau Maha Luas; demikian pula, cinta-kasih tak mengenal batasan. Akan tetapi, oleh karena kepicikan dan pandangannya yang sempit, manusia justru memberi batasan-batasan terhadap cinta-kasih. Ketahuilah bahwa cinta-kasih sebagai salah-satu kualitas Divinity bersifat maha luas, maha besar dan maha kuasa.

- Divine Discourse, December 25, 1987.

Friday, September 21, 2007

Sai Inspires - 21st September 2007 (What are the primary requisites that we must possess before we embark on any act of service?)


Before embarking on a service project one must introspect and examine his equipment for the Sadhana (spiritual activity) whether his heart is full of selfless love, humility and compassion; whether his head is full of intelligent understanding and knowledge of the problem and its solution; whether his hands are eager to offer the healing touch; and whether he can gladly spare and share time, energy and skill to help others in dire need. The candidate for this Sadhana has to avoid Ahamkara (egotism), Adambara (exhibitionism) and Abhimana (favouritism).

Sebelum terjun-aktif dalam proyek-proyek pelayanan (seva), engkau harus terlebih dahulu melakukan introspeksi diri dan menilai apakah dalam menjalankan Sadhana (aktivitas spiritual) ini, hatimu telah dipenuhi oleh cinta-kasih yang tanpa-pamrih, sikap rendah-hati serta welas-asih? Apakah engkau telah membekali diri dengan pengetahuan dan pemahaman atas problem yang ada serta alternatif solusinya yang terbaik? Apakah tangan-tanganmu betul-betul terpanggil untuk memberikan sentuhan yang menyembuhkan? Dan apakah engkau rela untuk menyediakan waktu, tenaga dan ketrampilanmu dalam menolong mereka yang betul-betul membutuhkan uluran tangan? Para calon atau kandidat untuk Sadhana ini harus menghindari Ahamkara (egoisme), Adambara (sikap pamer/show-off) dan Abhimana (favoritisme – membeda-bedakan antara yang disukai dan yang tidak disukai).

- Divine Discourse, November 21, 1986.

Sai Inspires - 20th September 2007 (What is our relationship and duty towards society?)




The relationship between the individual and society has to be rightly understood. Why should the individual serve others? What claims has society on the individual? When we examine these issues we realize that the individual can find fulfillment only in society. Born in society, growing up in society, living in society, man ends his life in society. In the word Samajam (Society), Sam represents 'unity', aa means 'going towards'. Samajam (society) means going forward in unity.

Kita harus memahami secara benar hubungan keterkaitan antara seseorang individu dengan masyarakat. Mengapa seorang individu harus memberikan pelayanan kepada masyarakat? Apa yang menjadi tanggung-jawab individu terhadap masyarakat? Apabila kita menganalisa hal ini secara seksama, maka kita akan menyadari bahwa kesuksesan seorang individu adalah tergantung pada masyarakat. Hal itu tidak lain oleh karena seorang manusia terlahir, tumbuh dewasa, hidup dari dan akhirnya akan meninggal di tengah-tengah masyarakat. Istilah ‘Samajam’ (masyrakat) terdiri atas suku-kata ‘Sam’ yang berarti unity (persatuan), ‘aa’ diartikan sebagai ‘menuju kepada’; dengan demikian, Samajam diartikan sebagai bergerak menuju kepada persatuan.

- Divine Discourse, September 26, 1987.

Wednesday, September 19, 2007

Sai Inspires - 19th September 2007 (Why is peace always eluding us?)


All the twenty-four hours, all the days of life, men are active in worshiping their bodies and minds, catering to the senses, submitting to the clamour of carnal desires, earning the wherewithal to feed themselves. They have no time to spare for meditation on God. How can men secure peace of mind, when they have no contact with the Vast, the Timeless, the Almighty Providence? When God is last, life is lost.

Sepanjang dua-puluh empat jam dan sepanjang hidupnya, manusia secara terus-menerus memanjakan badan jasmani dan batinnya sendiri, memuaskan keinginan indriawi serta memasrahkan dirinya terhadap hasutan hawa-nafsu serta mencari nafkah hanya demi untuk kelangsungan hidupnya. Mereka sama sekali tidak mempunyai waktu yang dapat disisihkan untuk bermeditasi kepada Tuhan. Apabila engkau tidak ada waktu untuk berhubungan dengan Tuhan yang Maha Kuasa, lalu bagaimanakah mungkin engkau bisa memperoleh ketenangan batin? Apabila Tuhan berada di urutan terakhir dalam daftar prioritasmu, maka kehidupanmu juga akan menjadi sia-sia.

- Divine Discourse, July 11, 1985.

Tuesday, September 18, 2007

Sai Inspires - 18th September 2007 (What is the Divine Trinity that we should always keep in our minds and hearts?)





You have to turn your minds towards the Atma (Self). The Atma is infinite. You have to get rid of the ideas of "mine" and "thine." Regard yourselves as the children of one God, who is the Universal Protector. Bear in mind three things: Love of God, fear of sin, observance of social morality. One who has no love of God, easily commits sin and loses all moral values. Love of God promotes the fear of sin and makes one lead a moral life. These triune principles are like the Divine Trinity. They will promote Thrikarana suddhi (purity in thought, word and deed). Whatever is done with such purity will be conducive to God-Realization.

Engkau perlu mengarahkan pandangan batinmu agar tertuju kepada Atma yang tak terbatas. Engkau juga perlu mengenyahkan pandangan-pandangan yang bersifat ke-aku-an (seperti milikku dan milikmu). Anggaplah dirimu sebagai anak-anak Tuhan, Sang Pelindung Universal. Engkau perlu mencamkan tiga hal, yaitu: Cintailah Tuhan, milikilah rasa takut untuk berbuat dosa, dan patuhilah nilai-nilai moralitas masyarakat. Mereka yang tidak mencintai Tuhan cenderung akan lebih mudah berbuat salah (dosa) dan tidak bermoral. Sebaliknya, cinta-kasih terhadap Tuhan akan membekalimu dengan kesadaran untuk takut berbuat salah dan kekuatan untuk menjalani kehidupan yang bermoral. Ketiga prinsip ini adalah laksana Divine Trinitas. Mereka akan membangkitkan Thrikarana suddhi (puritas dalam pikiran, ucapan dan perbuatan). Segala bentuk tindakan yang dilandasi oleh puritas-puritas tersebut akan sangat kondusif dalam mencapai realisasi ke-Tuhan-an.

- Divine Discourse, December 25, 1987.

Sai Inspires - 17th September 2007 (What should be our attitude toward mistakes?)





The world is the manifestation and expansion of the five fundamental elements. Its innate nature is duality - the entity and the result; the cause and its effect. This duality is evident in the alternating experiences of joy and grief, praise and blame, victory and defeat, profit and loss. These are the consequences of the right and wrong we indulge in. It is not wrong, if you slip into wrong; repeating the wrong is the thing to be condemned. One must learn lessons from the mistake, repent and resolve not to commit it again.

Dunia ini merupakan manifestasi dan ekspansi dari kelima unsur/elemen fundamental. Kaidah alaminya adalah dualisme – hukum kausal (sebab-akibat). Dualisme tersebut diwujudkan secara nyata di dalam pengalaman yang silih-berganti antara rasa senang dan sedih, dipuji dan dicela, kemenangan dan kekalahan, untung dan rugi, dan sebagainya... Semuanya itu merupakan konsekuensi dari tindakan-tindakan kita sendiri. Tidak ada salahnya apabila engkau ‘terpeleset’ dan melakukan perbuatan yang kurang baik; namun apabila kesalahan yang salah itu terulang kembali, maka hal tersebut patutlah dicela. Hendaknya engkau belajar dari kesalahan terdahulu, menyesalinya dan membulatkan tekad untuk tidak mengulanginya lagi.
- Divine Discourse, August 15, 1985.

Sai Inspires - 16th September 2007 (How can we ensure our peace and happiness?)





Your peace and happiness are linked with the world's peace and happiness. Any act of hatred or violence committed by you will pollute the atmosphere of the world. Adore any living being; the adoration reaches God, for He is in every being. Insult any living being; the insult too reaches God. So, expand love towards all, everywhere.

Rasa damai dan kebahagiaanmu berkaitan erat dengan kedamaian dan kebahagiaan dunia. Setiap bentuk tindakan yang dilandasi oleh kebencian ataupun kekerasan akan mencemari atmosfir dunia ini. Oleh sebab itu, cintailah sesamamu; maka cinta-kasihmu itu akan sampai kepada-Nya, sebab Beliau memang eksis di dalam diri setiap mahluk. Sebaliknya, bila engkau menghina siapapun, maka penghinaan itu juga akan jatuh kepada-Nya. Dalam pada itu, kembangkanlah cinta-kasihmu kepada semuanya dan dimana saja.

- Divine Discourse, August 15, 1985.

Sai Inspires - 15th September 2007 (What is the significance of the Ganesha principle?)




The Vinayaka (Ganesha) principle protects man from the various hurdles in life and ensures peace and security. Hence on every auspicious occasion, Vinayaka is worshipped. The devout offer worship to Vinayaka with the well-known prayer beginning with the words, Shuklaambara-dharam (The one who wears a white garment). Vighneshvara is described as one who is white like the moon, who has four arms (two for giving worldly protection and two for spiritual benediction), who has an ever-pleasing countenance and to whom obeisance is offered for removing all obstacles.


Prinsip Vinayaka (Ganesha) akan melindungi umat manusia dari pasang-surut kehidupan serta menganugerahi kedamaian dan rasa aman. Oleh sebab itu, dalam setiap momen-momen yang suci, Vinayaka selalu dihormati (terlebih-dahulu). Mereka yang taat akan mempersembahkan ibadah kepada Vinayaka dengan doa-doa yang dimulai dengan kata-kata ‘Shuklaambara-dharam’ (Ia yang mengenakan jubah putih). Vighneshvara memang dideskripsikan sebagai sosok berwarna keputih-putihan (seperti halnya rembulan), yang mempunyai empat tangan (dua diantaranya untuk memberikan perlindungan terhadap aspek-aspek duniawi dan selebihnya untuk memberikan anugerah spiritualistik), dan Ia juga mempunyai air-muka yang menawan dan kepadaNya-lah penghormatan diberikan agar segala bentuk rintangan dapat disingkirkan.

- Divine Discourse, September 16, 1996.

Friday, September 14, 2007

Sai Inspires - 14th September 2007 (What kind of divine love and faith should we cultivate?)




One filled with Divine Love will be fearless, will seek nothing from others, and will be spontaneous and selfless in expressing his love... There is no need to pray for gifts from God. God will give of His own accord what is good for any devotee... God will decide what to give, when to give, and where. Hence, all actions should be dedicated to God and He should decide what the devotee is fit to receive. When everything is left to God out of pure love and total faith, He will take care of His devotee. People today lack such firm faith.

Mereka yang dirinya dijiwai oleh semangat cinta-kasih Ilahi tidak mengenal rasa takut, ia tak mengharapkan apapun juga dari orang lain, dan ia akan bersikap spontan dan tanpa pamrih dalam mengekspresikan cinta-kasihnya... Tak ada gunanya berdoa untuk meminta sesuatu dari Tuhan. Beliau akan memberikan sesuai dengan kehendakNya: hal-hal yang terbaik untuk para bhakta... Tuhan-lah yang menentukan apa, kapan dan dimana Ia akan memberi. Oleh sebab itu, hendaknyalah engkau mendedikasikan segala tindakanmu kepada-Nya, dan Beliau akan menentukan yang terbaik untuk diberikan kepadamu. Bila dengan hati yang murni dan keyakinan penuh, engkau memasrahkan semuanya kepada-Nya, maka Ia akan melindungimu. Dewasa ini, banyak sekali orang-orang yang tidak memiliki keyakinan demikian.

- Divine Discourse, June 20, 1996

Thursday, September 13, 2007

Sai Inspires - 13th September 2007 (When can we begin to understand and experience Divinity?)


In essence, there is no difference between work and worship. But, unfortunately; in these degenerate days even worship is turned into some form of undesirable activity. Today devotion is used for deriving sensory enjoyment. It is used more as a source of fleeting pleasure than a fountain of enduring bliss. God will not approve of such part-time devotion. The Divine is Omnipresent and is watching every one of your actions, wherever you may be. People in their ignorance imagine that God takes no notice of them. Divinity cannot be understood as long as this ignorance prevails.

Pada pokoknya, tiada perbedaan antara tugas (work) dan ibadah (worship). Akan tetapi, di zaman yang sedang mengalami kemerosotan (moral) ini, sangatlah disayangkan sekali bahwa praktek ibadah telah dipandang sebagai jenis kegiatan yang membosankan (tidak diinginkan). Hari ini, alih-alih dimanfaatkan untuk memperoleh bliss (kebahagiaan tertinggi), devotion (bhakti) malah disalah-gunakan sebagai media untuk mendapatkan kenikmatan sensual semata-mata. Tuhan tak akan menyetujui bhakti paruh-waktu seperti ini. Sang Ilahi bersifat Omnipresent (hadir dimanapun juga), dan Beliau memperhatikan setiap tindak-tandukmu, dimanapun juga engkau berada. Oleh karena kebodohan batinnya, banyak orang yang menyangka bahwa Tuhan tidak memperhatikan perbuatannya. Sang Ilahi tak akan bisa engkau pahami selama kebodohan batin masih bercokol di dalam dirimu.

- Divine Discourse, December 18, 1994.

Wednesday, September 12, 2007

Sai Inspires - 12th September 2007



Time waits for no one. Concentrate all your efforts on the realization of God. The primary requisite is the elimination of the ego. Without getting rid of the ego, the bliss of Divinity cannot be experienced. Ostentatious worship is of no use. Wealth, power and position are of no avail in the spiritual quest. They cannot confer peace or remove the fear that haunts man all the time. Only the man of faith is completely free from fear. Hence, develop faith in God and lead a God-directed life... What is happening now is that men are forgetting God in the pursuit of wealth. They are seeking annam (food) instead of Atma (Self). When the Atma is realized all other things will be got without any great effort.

Waktu tidak menunggu siapapun juga. Pusatkanlah perhatianmu dalam upaya-upaya untuk mencapai realisasi ke-Tuhan-an. Prasyarat utamanya adalah eliminasi sang ego. Tanpa menyingkirkan sang ego, engkau tak akan bisa menikmati bliss. Ibadah yang dilakukan dengan maksud untuk ‘sok pamer’ tak akan ada gunanya. Kekayaan, kekuasaan dan jabatan – semuanya itu tak ada manfaatnya dalam menapaki jalan spiritual. Ia tak akan bisa memberimu kedamaian dan juga tak mampu untuk mengusir rasa takut yang senantiasa menghantui manusia. Hanya mereka yang memilik keyakinan yang mantap saja yang terbebaskan dari ketakutan. Oleh sebab itu, tumbuh-kembangkanlah keyakinan kepada Sang Ilahi dan jalanilah kehidupan yang sesuai dengan amanah-Nya... Kondisi yang kita temui dewasa sekarang ini adalah keadaan dimana manusia dalam mengejar kekayaan, mereka telah melupakan Tuhan. Mereka hanya mementingkan annam (makanan), dan bukannya Atma. Apabila engkau berhasil merealisasikan Atma, maka niscaya segala hal-hal lainnya akan dapat diperoleh secara mudah.

- Divine Discourse, December 25, 1987.

Tuesday, September 11, 2007

Sai Inspires - 11th September 2007




Divine love reaches out even to the remotest being. It brings together those who are separate. It raises man from animality to divinity. It transforms gradually all forms of worldly love to Divine love. To experience this Divine love, men must be prepared to give up selfishness and self-interest. They must develop purity and steadfastness. With firm faith in the Divine, they must foster the love of God regardless of all obstacles and ordeals.



Cinta-kasih Ilahi menjangkau seluruh mahluk hidup, bahkan yang terjauh sekalipun. Ia mempersatukan kembali mereka yang tercerai-berai. Ia membangkitkan derajat kemanusiaan dari level yang paling rendah hingga mencapai Divinity (ke-Ilahi-an). Secara perlahan, ia merubah cinta-kasih yang bersifat keduniawian menjadi cinta-kasih Ilahi. Untuk dapat merasakan cinta-kasih Ilahi, engkau harus rela mengorbankan keegoisan dan kecongkakanmu. Engkau perlu mengembangkan hati yang murni dan mantap. Dengan keyakinanmu yang kokoh kepada Sang Ilahi, peliharalah cinta-kasih Ilahi di tengah-tengah segala bentuk rintangan maupun cobaan.



- Divine Discourse, June 20, 1996.

Monday, September 10, 2007

Sai Inspires - 10th September 2007




The hallmark of love is thyaaga (selfless sacrifice). Love seeks nothing from anyone. It bears no ill-will towards anyone. It is utterly selfless and pure. Failing to understand the true nature of love, man yearns for it in various ways. Love has to be cherished with feelings of selflessness and sacrifice. In what is deemed as love in the world - whether it be maternal love, brotherly love, or friendship - there is an element of selfishness. Only God's love is totally free from the taint of selfishness.



Barometer cinta-kasih ditandai oleh kehadiran sifat thyaaga (sifat siap/rela berkorban dan tanpa ke-aku-an/ke-egois-an). Cinta-kasih tidak berharap apapun dari siapapun juga. Ia tidak egois dan murni adanya. Tanpa memahami sifat cinta-kasih yang sebenarnya, manusia berusaha mencari cinta-kasih dengan berbagai macam cara & daya upaya.Cinta-kasih yang dikenal dewasa ini – baik itu cinta-kasih maternal (antara orang-tua dan anak), cinta-kasih persaudaraan maupun antar sahabat – bentuk-bentuk cinta-kasih tersebut mengandung unsur kecongkakan (selfishness). Hanya cinta-kasih Ilahi sajalah yang terbebas dari noda-noda seperti itu.



- Divine Discourse, June 20, 1996.

Sai Inspires - 9th September 2007




Man has the rare good fortune of adoring Nature as the Body of God and offering grateful worship to God. But, is he conscious of God being the Source and Sustenance? Does he give God the first place in his thoughts which is His due? Or, is he engaged in the activities of life in total disregard of God? It is a pity that, instead of paying attention to God, Nature and Man, in that order, men today are concerned most with themselves, more with Nature and very much less with God. From birth to death, from dawn till night, man pursues fleeting pleasures by the exploitation, the despoiling, the desecration of Nature, ignoring the truth that it is the property of God, the Creator, and any injury caused to it is a sacrilege which merits dire punishment.



Manusia memiliki kesempatan langka untuk mencintai alam yang merupakan salah-satu perwujudan badan/tubuh Sang Ilahi; dimana penghormatan ini dapat dianggap sebagai ibadah kepada-Nya. Akan tetapi, apakah manusia sudah menyadari bahwa Tuhan merupakan sumber dan inti-sari (dari segala-galanya)? Apakah manusia sudah menempatkan Tuhan di tempat yang tertinggi di dalam pikirannya masing-masing? Ataukah ia malahan terbuai dalam aktivitas kehidupan sehari-hari dan melupakan-Nya sama sekali? Memang sungguh amat disayangkan sekali, seandainya manusia lebih mementingkan dirinya sendiri, menomor-duakan alam sekitarnya dan justru menempatkan Tuhan di urutan terakhir! Dari sejak kelahirannya hingga tutup-usia, dari pagi hingg malam, manusia hanya mengejar kenikmatan sesaat melalui tindakan-tindakannya yang mengeksploitasi, merusak dan semena-mena terhadap alam. Manusia telah melupakan kebenaran bahwa alam ini merupakan milik Tuhan, Sang pencipta, dan segala bentuk kerusakan yang ditimbulkan terhadapnya adalah merupakan pelanggaran yang akan berbuah hukuman (karma) yang setimpal.



- Divine Discourse, July 11, 1985.

Saturday, September 8, 2007

Sai Inspires - 8th September 2007




All must cultivate the spirit of equal-mindedness. This is the mark of a true human being. It is the spirit of serenity in which one looks upon praise or blame, honour or dishonour, pleasure or pain alike. We tend to shrivel up when somebody abuses us; the whole world looks gloomy. We swell with pride when anybody praises us. What we should cultivate is an attitude in which we remain unaffected in both the situations. Shanthi (mental tranquility) is necessary for experiencing the truth of the Self. There is no greater thing on earth than peace of mind. Every effort must be made to acquire Shanthi.



Setiap orang hendaknya berupaya untuk memiliki keseimbangan-batin (equal-mindedness). Batin yang seimbang merupakan pertanda manusia sejati. Semangat ketenangan atau ketentraman seperti ini akan membekalimu batin yang seimbang dan sikap yang seimbang ketika menghadapi dualisme kehidupan, yaitu pujian ataupun celaan, dihormati maupun tidak dihormati, rasa senang maupun sedih. Pada umumnya kita cenderung menjadi lesu ketika seseorang memperlakukan kita secara tidak baik; seolah-olah seisi dunia menjadi kelam. Sebaliknya, kita langsung berbesar-hati dan berpotensi menjadi sombong ketika setiap orang memuji-muji kita. Jadi, sikap yang perlu kita kembangkan adalah sikap dimana kita tidak terpengaruh oleh kedua situasi tersebut. Shanthi (ketenangan mental) sangatlah dibutuhkan agar kita dapat mengalami sendiri jati-diri (Self) yang hakiki. Tak ada sesuatupun yang lebih berharga di muka bumi daripada ketenangan batin. Segala daya upaya perlu dikerahkan untuk memperoleh Shanthi.



- Divine Discourse, May 26, 1985.

Friday, September 7, 2007

Sai Inspires - 7th September 2007




Be assured that the Lord has come to save the world from calamity. Your duty is to keep calm, to pray for the happiness and prosperity of all. Do not pray for your own exclusive happiness and say, "Let the rest of the world go to pieces." You cannot be happy when the rest of mankind is unhappy. You are an organic part of the human community. Share your prosperity with others; strive to alleviate the sufferings of others. That is your duty.



Yakinilah bahwa Tuhan telah datang untuk menyelamatkan dunia ini dari kehancuran. Tugasmu adalah bersikap tetap tenang, berdoa demi kebahagiaan dan kesejahteraan semuanya. Janganlah engkau hanya mendoakan dirimu sendiri sembari berkata, “Biarkan saja seisi dunia (orang lain – red) tercerai-berai.” Ketahuilah bahwa engkau tak akan bisa berbahagia apabila orang lain (umat manusia pada umumnya) juga berada dalam kondisi yang tidak bahagia. Engkau adalah bagian organik dari komunitas kemanusiaan. Bagikanlah kemakmuranmu dengan yang lain; berjuanglah untuk meringankan beban penderitaan sesamamu. Inilah tugas utamamu.



- Divine Discourse, March 17, 1961.

Thursday, September 6, 2007

Sai Inspires - 6th September 2007




Human virtues cannot be acquired from others. They cannot be nourished from mere study of books. Nor can they be acquired ready- made from teachers. They have to be cultivated by each person and the resulting joy has to be experienced by him. The world sorely needs today human values. Attempts are being made to promote these values in the educational field. But they cannot be promoted through materialistic, worldly or scientific means. Without developing devotion to God no human quality can grow. The first requisite is faith in God.



Sifat-sifat kebajikan (manusia) tidak bisa diperoleh dari orang lain. Ia juga tidak akan bisa dihasilkan melalui pembelajaraan atas buku-buku tekstual maupun dari para tenaga pendidik. Ia hanya bisa dikembangkan di dalam diri setiap individu; dimana ia akan menghasilkan kegembiraan yang hanya bisa dirasakan oleh masing-masing. Saat ini, dunia sangat membutuhkan nilai-nilai kemanusiaan. Berbagai upaya sedang dilakukan untuk mempromosikan nilai-nilai tersebut dalam lapangan pendidikan. Tetapi ketahuilah, bahwa nilai-nilai kemanusiaan tidak akan bisa dipromosikan melalui upaya-upaya yang berbau materialistik, keduniawian maupun secara ilmiah. Tanpa mengembangkan bhakti (devotion) kepada Tuhan, maka tiada kualitas kemanusiaan yang bisa berkembang. Jadi, prasyarat yang pertama adalah keyakinan kepada Sang Ilahi.



- Divine Discourse, September 26, 1987.

Wednesday, September 5, 2007

Sai Inspires - 5th September 2007




The individual, the society and the nation constitute an inextricably linked organism. The peace and welfare of the nation depends on the peace and progress of society, which, in turn, are dependent on the peace and good conduct of individuals. Unless individuals develop mutual regard and tolerance, and cultivate equal-mindedness towards each other, there can be no peace and harmony in the community. Material progress alone cannot bring about peace and harmony and happiness among people.



Individu, masyarakat dan bangsa merupakan organisme yang saling berketerkaitan. Kedamaian dan kesejahteraan suatu bangsa tergantung pada kedamaian dan kemajuan masyarakatnya, yang mana pada gilirannya, bergantung pada kedamaian dan perilaku bajik dari masing-masing individunya. Tidak mungkin akan tercipta kedamaian dan keharmonisan dalam lingkungan masyarakat apabila para individunya tidak mengembangkan sikap saling menghormati, toleransi dan tenggang-rasa. Kemajuan materialistik saja tidak akan bisa menghasilkan kedamaian, keharmonisan dan kebahagiaan.


- Divine Discourse, May 12, 1984.

Tuesday, September 4, 2007

Sai Inspires - 4th September 2007




God's love is pure and simple. His greatest gift is His love...Do not calculate what you have offered to God in terms of money or otherwise. Whatever you offer, consider only the feeling with which you offered it. Even a small tulasi leaf offered with love becomes a great offering to the Lord. Offer anything with a full and loving heart. By offering with love, you become the embodiment of love...Identify yourself with the name and form of the Divine of your choice. You may carry on all your normal daily duties, but keep in mind always the name of the Lord. That is the injunction of Lord Krishna.



Cinta-kasih Ilahi bersifat murni dan sederhana. Pemberian-Nya yang paling berharga adalah cinta-kasih-Nya.... Janganlah memperhitungkan pemberianmu kepada-Nya dalam besaran uang atau sejenisnya. Apapun juga yang engkau persembahkan, yang terpenting adalah perasaan yang menyertai pemberianmu tersebut. Bahkan apabila engkau hanya mempersembahkan sehelai daun tulasi yang dilakukan dengan penuh cinta-kasih, maka pemberian tersebut akan menjadi persembahan yang sangat berharga bagi Tuhan. Yang terpenting adalah pemberianmu harus dilakukan dengan hati yang penuh cinta-kasih. Dengan demikian, engkau akan menjadi perwujudan cinta-kasih... Identifikasikanlah dirimu dengan nama dan rupa Sang Ilahi yang menjadi pilihanmu. Engkau boleh melaksanakan tugas seharianmu, namun senantiasalah ingat nama Tuhan di dalam batinmu. Inilah perintah Batara Krishna.



- Divine Discourse, August 25, 1997.

Monday, September 3, 2007

Sai Inspires - 3rd September 2007




When dirty water gets mixed with milk, the milk has to be boiled to make it pure. Likewise man has to undertake various types of Sadhana to purge his heart of impurities. Exercises such as meditation, chanting, etc. can only provide mental satisfaction. It is only when the heart is melted in the heat of Divine love that one can succeed in getting rid of bad qualities and make the heart shine in its pristine effulgence. Just as the sun's rays can burn a heap of cotton if the rays are concentrated by passing through a lens, the rays of the intellect will destroy one's bad qualities only when they are passed through the lens of Divine love.



Ketika air yang kotor tercampur dengan susu, maka susu tersebut perlu dimasak agar dapat membuatnya murni kembali. Demikian pula, manusia harus melaksanakan berbagai bentuk sadhana agar dapat menyingkirkan ketidak-murnian di dalam hatinya. Latihan-latihan spiritual seperti meditasi, chanting (pengkidungan Veda/mantra/paritta/sutra), dan lain-lain, hanya akan memberikan kepuasan mental. Kualitas-kualitas yang negatif hanya bisa disingkirkan apabila hatimu telah dipanaskan oleh cinta-kasih Ilahi, sehingga dengan demikian, hatimu akan bersinar terang-benderang. Seperti layaknya cahaya mentari yang bisa membakar tumpukan kapas melalui berkas cahayanya yang dikonsentrasikan melalui kaca pembesar; demikian pula, cahaya intellect yang dikonsentrasikan melalui lensa cinta-kasih Ilahi, mampu membakar kualitas negatif yang engkau miliki.



- Divine Discourse, October 24, 1992.

Sai Inspires - 2nd September 2007




The astonishing progress of science and technology has not brought with it corresponding powers of discrimination and wisdom. Man must realize that the sense organs, through which he explores the external and discovers the powers latent in Nature and the physical universe, function because of the Divinity which is immanent in them. Without the power of the Divine, the eyes cannot see or the ears hear or the mind think.



Kemajuan pesat yang dicapai oleh ilmu pengetahuan dan teknologi ternyata tidak disertai dengan kemajuan dalam kemampuan diskriminatif dan kebijaksanaan manusia. Hendaknya engkau menyadari bahwa kekuatan yang melatar-belakangi kemampuan panca indera – untuk mengeksplorasi dunia eksternal serta menemukan kekuatan yang latent terdapat di alam semesta – berfungsi sebagai akibat adanya Divinity di dalamnya. Tanpa adanya kekuatan Ilahi, organ mata tidak akan bisa melihat, telinga tak akan bisa mendengar dan pikiran tak akan sanggup berpikir.



- Divine Discourse, May 12, 1984.

Saturday, September 1, 2007

Sai Inspires - 1st September 2007




God needs nothing from anyone. God does not seek offerings, nor is pleased by them. The Divine is not different from you. It is your likes and dislikes that separate you from God. When you get rid of desires and aversions, you will realize your inherent Divinity. All the spiritual exercises one does or rituals one observes in offering worship can serve only to purify the mind and eliminate the ego. Mankind should strive for the ideal of human unity by recognizing the Divinity that is present in every human being.

Tuhan tidak membutuhkan apapun dari siapapun juga. Tuhan tidak mengharapkan persembahan, dan Ia juga tidak akan merasa senang dengan adanya persembahan. Sang Ilahi tidaklah berbeda darimu. Yang menjadi penyebab keterpisahan antara dirimu dengan-Nya adalah dikarenakan oleh rasa suka dan tidak-suka yang engkau miliki. Apabila engkau sanggup menyisihkan keinginan dan ketidak-sukaanmu, maka engkau akan menyadari sifat ke-Ilahi-anmu. Segala bentuk latihan spiritual ataupun ritual yang engkau lakukan hanya berfungsi untuk memurnikan batin serta mengeliminasi ego. Di samping itu, engkau perlu memperjuangkan idealisme tentang persatuan umat manusia, yaitu dengan cara mengenali Divinity yang hadir di dalam diri setiap orang.

- Divine Discourse, December 25, 1987.