Wednesday, October 31, 2007

Sai Inspires - 31st October 2007 (There is a debt that everybody has to discharge. What is it and how can it be done?)

We owe a debt of gratitude to the Divine which has not only endowed us with this precious human body but which also sustains it. We shall be able to enjoy these gifts of the Divine only if we discharge this debt to the Divine. How is this to be done? It is by rendering service to other bodies saturated with the same Divine, by doing righteous deeds and consecrating all actions in the service of society. The debt to the Divine has to be discharged in full in this life itself or during many future lives. The earlier we repay this debt, the sooner we shall realize Divinity.

Kita berhutang budi kepada Divine yang telah menganugerahi serta memelihara badan jasmani kita yang amat berharga ini. Kita baru bisa menikmati hadiah-hadiah tersebut jikalau kita membalas budi kepada-Nya. Bagaimanakah cara untuk melakukannya? Yaitu dengan jalan memberikan pelayanan (seva) kepada orang lain yang juga merupakan tempat bersemayamnya Divine, melakukan perbuatan-perbuatan bajik dan mengkuduskan setiap bentuk tindakan sebagai pelayanan kepada masyarakat. Hutang kita kepada Divine haruslah dibayar secara tuntas di dalam kehidupan sekarang ini juga atau dalam berbagai rangkaian kehidupan di masa yang akan datang. Semakin cepat kita membayarnya, maka akan semakin cepat pula kita mencapai realisasi Divinity.

- Divine Discourse, October 10, 1983.

Tuesday, October 30, 2007

Sai I nspires - 30th October 2007 (What is the most important harmony that we should strive to attain and maintain?)

The most important element in man's existence is sankalpa (firm thought). As are the thoughts, so is the speech. As is the speech so are the actions. The harmony of these three will lead to the experience of Divinity. Words come out of the heart. They should be filled with compassion. The heart is the abode of compassion. It is the source of love. Hence whatever emanates from the heart should be filled with love. That love should express itself in speech. The flow of love in speech should find concrete expression in action.

Unsur yang paling penting dalam eksistensi sebagai manusia adalah sankalpa (kebulatan tekad). Sesuai dengan yang dipikirkan, maka demikianlah yang diucapkan. Dan sebagaimana yang diucapkan, maka demikianlah yang dilakukan. Sinkronisasi atau harmonisasi ketiga faktor tersebut akan menuntun kita dalam mengalami Divinity. Tutur-kata yang berasal dari dalam hati haruslah dijiwai oleh welas-asih. Hati (nurani) kita merupakan tempat bersemayamnya nilai-nilai kewelas-asihan. Ia merupakan sumber cinta-kasih. Oleh sebab itu, segala sesuatu yang bersumber dari dalam hati haruslah mengandung cinta-kasih. Cinta-kasih ini selanjutnya diekspresikan dalam ucapan. Aliran cinta-kasih dalam ucapan ini selanjutnya harus diwujudkan secara nyata dalam perbuatan yang sepadan.

- Divine Discourse, December 9, 1985.

Monday, October 29, 2007

Sai Inspires - 29th October 2007 (What can confer us permanent peace?)

The world has to be brought back to the rails. Only love and peace can achieve this. Fill your thoughts, speech and actions with love, truth and peace and engage yourselves in service actions. We aspire for peace and comfort all the time, but where can we find it? Is it to be found in the material world around us? Experience shows that the peace or happiness got from external objects is not enduing. It is like a mirage, which cannot quench the thirst of the deluded animal that runs towards it. The real source of peace is within every individual and it is this inner peace that can confer real joy.

Kehidupan di dunia ini harus dikembalikan ke jalurnya yang benar. Hal ini hanya bisa tercapai melalui jalur cinta-kasih dan kedamaian. Untuk itu, isilah pikiranmu, ucapanmu dan perbuatanmu dengan cinta-kasih, kebenaran dan kedamaian serta libatkanlah dirimu dalam tindakan pelayanan (seva). Kita semua beraspirasi untuk mendapatkan kedamaian dan kenyamanan sepanjang waktu, tetapi dimanakah kita bisa memperolehnya? Apakah ia dapat diperoleh dari dunia materi di sekeliling kita? Pengalaman menunjukkan bahwa kedamaian atau kebahagiaan yang diperoleh dari obyek-obyek eksternal tidak akan bertahan lama. Bagaikan fatamorgana, ia tidak akan bisa memuaskan rasa haus dari hewan-hewan yang terkecoh oleh pemandangan tersebut. Sumber kedamaian sejati ada di dalam diri setiap individu dan kedamaian internal inilah satu-satunya yang bisa memberikan kebahagiaan sejati.

- Divine Discourse, December 9, 1985.

Sai Inspires - 28th October 2007 (Whom does the lord consider worthy of receiving His Grace?)

The lord searches for goodness only, not for faults and sins. Those are based on the standard of the Gunas (qualities) of each. He will not examine the wealth, the family, the Gothra (lineage), the status, or the sex. He sees only the Righteousness, the Sadbhava. Those endowed with such Sadbhava, He considers as deserving His Grace, whoever they are, whatever they are. Therefore, develop Sadbhava, goodness and righteousness. Live and act in joy and love. These two are sufficient; salvation can be attained without fail.

Yang dilihat (dan dipuji) oleh Tuhan hanyalah kebaikan saja, bukan kesalahan maupun dosa-dosa. Hal tersebut berkaitan dengan standard kualitas (Gunas) yang terdapat di dalam diri setiap orang. Beliau (Tuhan) tidak mementingkan kekayaan, silsilah keluarga (Gothra), status jabatan maupun jenis kelamin. Yang terpenting adalah nilai-nilai kebajikan (Sadbhava). Mereka yang mempunyai Sadbhava merupakan orang-orang yang layak untuk mendapatkan rahmat & karunia-Nya; tanpa membeda-bedakan suku, agama maupun ras. Untuk itu, kembangkanlah Sadbhava, kebaikan dan kebajikan. Hiduplah dalam keceriaan dan cinta-kasih. Ini saja sudah cukup untuk memperoleh keselamatan.

- Prema Vahini.

Saturday, October 27, 2007

Sai Inspires - 27th October 2007 (What should be the basis of our life?)

To realise the Divine, love is the easiest path. Just as you can see the moon only with the light of the moon, God, who is embodiment of love, can be reached only through love. Regard love as your life breath. Love was the first quality to emerge in the creative process. All other qualities came after it. Therefore, fill your heart with love and base your life on it.

Untuk mencapai kesadaran Tuhan, cinta-kasih merupakan jalan yang paling mudah,. Sebagaimana engkau sanggup melihat rembulan berkat cahaya dari bulan itu sendiri; maka demikian pula, Tuhan - yang merupakan perwujudan cinta-kasih - hanya bisa dijangkau melalui cinta-kasih. Jadikanlah cinta-kasih sebagai nafas kehidupanmu. Cinta-kasih merupakan kualitas perdana yang muncul dalam proses penciptaan. Kualitas-kualitas lainnya menyusul belakangan. Oleh sebab itu, isilah hatimu dengan cinta-kasih dan jadikanlah cinta-kasih sebagai dasar kehidupanmu.

- Sathya Sai Speaks, Vol. XIX, Page 217.

Friday, October 26, 2007

Sai Inspires - 26th October 2007 (What is the vitamin that is needed everyday to keep us healthy in every way?)

Bhakthi (devotion) is not like lime pickle, to be used only when you have fever; it is man's daily substance, the vitamin he must have for physical and mental health. The contemplation of God is like the main rice dish; the rest are side dishes, appetizers, fillers. Take the tablet of Naamasmarana (constant thought of the Lord), and all the experience of your daily life, the good and the bad, will be digested nicely. You don't eat paddy, do you? You have the sense to remove the husk and then boil the rice before you eat it. So also, why do you take in nature as it is? Remove the allurement it has to the senses, make it just an expression of the Divine Will and then assimilate it.

Bhakti (devotion) bukanlah sejenis buah lemon/limau, yang hanya dimakan apabila engkau mengalami gejala demam. Bhakti (devotion) merupakan menu sehari-hari, ibarat vitamin yang harus engkau konsumsi demi untuk mempertahankan kesehatan raga dan batin. Melakukan kontemplasi terhadap Tuhan adalah identik dengan mengkonsumsi menu utama (nasi); selebihnya hanyalah menu-menu sampingan seperti menu pembuka dan penutup. Minumlah tablet Naamasmarana (senantiasa ingat kepada Tuhan), maka dengan demikian, semua pengalaman sehari-harimu – baik yang positif maupun negatif – akan dapat dicernakan secara baik. Engkau tentunya tidak memakan biji padi bukan? Engkau tentu akan membuang terlebih dahulu sekamnya dan kemudian menanak nasi itu sebelum dimakan. Nah, demikianlah, mengapa pula engkau harus pasrah dan menerima keadaan di sekelilingmu ini sebagaimana adanya? Atasilah daya-tariknya yang kuat terhadap panca inderamu, dan sebaliknya manfaatkanlah ia sebagai saluran ekspresi kehendak Divine dan pahamilah (keadaan yang sebenarnya).

- Divine Discourse, December 6, 1963.

Sai Inspires - 25th October 2007 (What is the relationship between devotion and harmony in society?)

One who is lacking in love for fellow beings will not secure God's love. Without love for God, one will not have fear of sin. In the absence of both of these, a man will have no sangha neethi (social morality). Neethi means right conduct. It implies right behaviour in harmony with the conditions of the particular time, place and society. You have to subordinate yourself to the mores of the community. You should not violate the norms of society. Hence the Veda (ancient Indian scriptures) enjoined observance of social disciplines.

Cinta-kasih Tuhan tidak akan terdapat di dalam diri orang-orang yang tidak mengasihi & mencintai sesamanya. Tanpa adanya cinta-kasih Tuhan, maka orang tersebut tidak akan takut untuk berbuat dosa (salah). Dengan tidak adanya cinta-kasih Tuhan & rasa takut berbuat salah, maka orang tersebut tidak akan memiliki sangha neethi (moralitas sosial). Neethi diartikan sebagai tindakan yang benar. Ia mengisyaratkan tentang perilaku yang selaras dengan kondisi-kondisi pada waktu, tempat dan lingkungan sekitarnya yang tertentu. Engkau harus tunduk terhadap adat-istiadat. Engkau tidak boleh melanggar norma-norma kemasyarakatan. Itulah sebabnya, kitab Veda memerintahkan kita untuk mematuhi disiplin sosial.

- Divine Discourse, October 5, 1989.

Wednesday, October 24, 2007

Sai Inspires - 24th October 2007 (What is the kind of fearlessness that we must possess and exhibit?)

Through very small effort great things can be accomplished. A huge serpent can be destroyed by a large number of small ants. Do not consider yourself small. Seek to acquire the strength and determination to carry out your duties. In the world, difficulties crop up from time to time. Jealousy towards one's betters is quite common. Crows have animus against the cuckoo. Cranes jeer at swans. But neither the cuckoo nor the swan is worried. The world has many such envious beings. Do not allow yourself to be overwhelmed by such experiences. You have to confront them boldly and stand up for truth.

Melalui daya-upaya yang kecil sekalipun, akan bisa dihasiilkan banyak hal-hal besar lainnya. Bahkan seekor ular yang besar sekalipun akan dapat dihancurkan oleh sekumpulan semut-semut kecil (dalam jumlah yang banyak). Janganlah menganggap dirimu kecil & rendah. Lakukanlah upaya untuk mengumpulkan kekuatan dan kebulatan tekad untuk melaksanakan tugas dan kewajibanmu. Di dunia ini, kesulitan datang silih berganti. Kecemburuan terhadap kesejahteraan orang lain sudah merupakan hal yang umum terjadi. Kawanan burung gagak membenci kawanan burung perkutut. Burung bangau cemburu terhadap angsa. Akan tetapi, baik burung perkutut maupun angsa tidak pernah merasa khawatir. Dunia ini mempunyai banyak orang-orang yang iri-hati. Tetapi engkau jangan pernah membiarkan dirimu terpengaruh oleh hal-hal tersebut. Engkau harus menghadapinya secara teguh dan berdiri di atas kebenaran.

- Divine Discourse, June 18, 1989.

Tuesday, October 23, 2007

Sai Inspires - 23rd October 2007 (What is the relationship between devotion and harmony in society?)

One who is lacking in love for fellow beings will not secure God's love. Without love for God, one will not have fear of sin. In the absence of both of these, a man will have no sangha neethi (social morality). Neethi means right conduct. It implies right behaviour in harmony with the conditions of the particular time, place and society. You have to subordinate yourself to the mores of the community. You should not violate the norms of society. Hence the Veda (ancient Indian scriptures) enjoined observance of social disciplines.

Cinta-kasih Tuhan tidak akan terdapat di dalam diri orang-orang yang tidak mengasihi & mencintai sesamanya. Tanpa adanya cinta-kasih Tuhan, maka orang tersebut tidak akan takut untuk berbuat dosa (salah). Dengan tidak adanya cinta-kasih Tuhan & rasa takut berbuat salah, maka orang tersebut tidak akan memiliki sangha neethi (moralitas sosial). Neethi diartikan sebagai tindakan yang benar. Ia mengisyaratkan tentang perilaku yang selaras dengan kondisi-kondisi pada waktu, tempat dan lingkungan sekitarnya yang tertentu. Engkau harus tunduk terhadap adat-istiadat. Engkau tidak boleh melanggar norma-norma kemasyarakatan. Itulah sebabnya, kitab Veda memerintahkan kita untuk mematuhi disiplin sosial.

- Divine Discourse, October 5, 1989.

Monday, October 22, 2007

Sai Inspires - 22nd October 2007 (How is chanting God's name beneficial to us?)

Nowadays, people laugh at the idea of Naamasmarana and Naamasankeerthana (remembering and singing God's holy Names). They ask, what is in a Name? It is just an assortment of sounds. My words too are assortments of sound, but, when they enter your hearts, you feel content, you feel encouraged, is it not? Words have tremendous power; they can arouse emotions and they can calm them. They direct, they infuriate, they reveal, they confuse; they are potent forces that bring up great reserves of strength and wisdom. Therefore have faith in the Name and repeat it whenever you get the chance.

Dewasa ini, sekelompok orang mentertawakan tentang anjuran untuk melakukan Naamasmarana dan Naamasankeerthana (praktek mengingat-ingat dan menyanyikan kemuliaan nama-nama Tuhan). Orang-orang ini bertanya, apalah artinya sebuah nama? Bukankah itu hanya berupa kumpulan suara? Kata-kata dan wacana-Ku juga adalah kumpulan suara, tetapi ketika kata-kata tersebut menyentuh hatimu, maka engkau merasa tenang dan termotivasi, bukankah begitu? Ucapan atau tutur-kata memiliki kekuatan yang maha dashyat; ia bisa membangkitkan emosi dan ia juga bisa menenangkannya. Ia dapat mengarahkan, menimbulkan amarah, menguak (kebenaran), dan juga bisa membingungkan; singkatnya, tutur-kata atau ucapan bisa dijadikan sumber kekuatan maupun kebijaksanaan. Oleh sebab itu, milikilah keyakinan dalam nama dan ulangilah nama-nama tersebut setiap engkau mempunyai kesempatan.

- Divine Discourse, December 12, 1964.

Sai Inspires - 21st October 2007 (What should our attitude be when we worship the Lord?)

People are of three types. First, Bhakthi rasa-aathmakam (emotional type). The second, Kriyaaathmakam (active type). The third, the rational type. The emotional type of persons are engaged in activities like worship of idols, bhajans, etc. They offer worship to an idol or picture in the faith that God in a certain form has shown to mankind the means to liberation. However, you may worship a picture as God, but not God as a picture. You may see God in a picture, but the picture is not God. No object exists with a form without the immanence of the Divine in it. Hence every object has to be elevated to the level of the Divine. Treat every object as a manifestation of the Divine. But do not reduce the Divine to the level of material objects.

Terdapat tiga jenis orang (pemuja Tuhan). Yang pertama dinamakan jenis Bhakti rasa-aathmakam (tipe emosional). Yang kedua, Kriyaaathmakam (jenis yang aktif), dan yang ketiga adalah golongan atau jenis yang rasional. Orang dari golongan emosional melibatkan diri dalam aktivitas-aktivitas seperti: pemujaan rupang, bhajans, dan sebagainya. Mereka beribadah kepada rupang atau gambar dengan disertai oleh keyakinannya bahwa Tuhan dalam wujud atau rupa tertentu telah mengajarkan atau menunjukkan jalan untuk mencapai pembebasan. Engkau boleh saja memuja sebuah gambar sebagai Tuhan, tetapi janganlah engkau menggangap bahwa Tuhan adalah gambar itu semata-mata. Tak ada obyek apapun juga yang bisa eksis dalam wujudnya bilamana tidak disertai oleh Divine di dalamnya. Oleh sebab itu, setiap jenis obyek haruslah diperlakukan dalam level yang setara dengan Divine. Perlakukanlah obyek-obyek tersebut sebagai manifestasi Divine. Tetapi, sebaliknya, janganlah engkau menurunkan level Divine ke derajat obyek materi.

- Divine Discourse, December 18, 1994.

Saturday, October 20, 2007

Sai Inspires - 20th October 2007 (How can we be blessed with permanent peace?)

In their life-long quest for happiness people forget that they can secure enduring bliss only by pursuing the spiritual path. Towards the end of their life, when all other sources have failed, they turn towards God. One cannot secure real happiness by relying on worldly objects. Only by turning towards the Spirit can one secure bliss. In the quest for bliss, the Vedas have pronounced a caveat. God is incomparable. He cannot be comprehended by logical proofs. All kinds of proofs are of no avail for recognizing God. He is beyond the reach of mind and speech.

Dalam sepanjang hayatnya untuk mencari sumber kebahagiaan, manusia melupakan kebenaran bahwa sebenarnya mereka bisa memperoleh bliss hanya dengan melalui jalan spiritual. Menjelang akhir kehidupannya, ketika semua jalan atau cara telah ditempuh, barulah mereka mau berpaling kepada Tuhan. Engkau tak akan bisa memperoleh kebahagiaan sejati dengan hanya mengandalkan obyek-obyek duniawi. Bliss hanya bisa diperoleh dari the Spirit (pencerahan diri). Sejalan dengan hal tersebut, kitab Veda telah memberikan beberapa hal yang patut diperhatikan. Tuhan tidak bisa dibandingkan dengan siapapun dan apapun juga. Beliau tidak bisa dipahami dengan jalan pembuktian logis. Segala bentuk pembuktian itu tidak akan sanggup untuk membuatmu mengenali Tuhan. Ia berada di luar jangkauan batin dan kosa-kata.

- Divine Discourse, October 5, 1989.

Friday, October 19, 2007

Sai Inspires - 19th October 2007 (Can our sensory perceptions help us understand divinity?)

For everything today, people seek evidence of direct perception or experience. They are not prepared to accept anything which is not amenable to the proof of direct perception. This is really a sign of ignorance. Direct perception is associated with many afflictions. For instance, when the eye is free from any disease it recognizes the different colours in their true forms. This is the basis for the authority of direct perception. What happens when the eye is affected by jaundice? Everything appears yellowish. No other colour can be perceived. How, then, can one trust the evidence of his eyes? All evidence based on the perceptions of the sense organs is vitiated by this defect. When the sense organs themselves are subject to change, how can they be regarded as infallible indicators of absolute truth? Senses which are liable to change cannot be the means of arriving at the unchanging Reality.

Dewasa ini, kebanyakan orang menginginkan adanya bukti atau pengalaman nyata atas segala sesuatunya. Mereka tidak mau menerima sesuatu yang tidak dapat dibuktikan melalui persepsi panca-inderanya. Sebenarnya ini merupakan semacam bentuk kebodohan batin. Persepsi langsung mempunyai banyak kelemahan-kelemahan. Sebagai contoh, apabila mata kita dalam kondisi sehat, maka ia akan sanggup untuk mengenali berbagai macam warna. Inilah cara kerja direct perception. Namun, apabila kita sedang terjangkit penyakit kuning (jaundice), lalu apa yang akan terjadi? Segala sesuatu akan terlihat kuning. Tidak ada warna lain yang terlihat. Bila keadaannya demikian, bagaimana kita bisa mempercayai hasil penglihatan mata kita? Segala bukti yang dipersepsi melalui panca indera mengandung kelemahan tersebut. Apabila panca indera rentan terhadap perubahan, lalu apakah kita bisa mengandalkannya sebagai indikator untuk kebenaran absolut? Persepsi indriawi yang senantiasa mengalami perubahan tidak bisa dijadikan sebagai alat untuk justifikasi Realitas yang tak mengenal perubahan.

- Divine Discourse, October 5, 1989.

Thursday, October 18, 2007

Sai Inspires - 18th October 2007 (How should we treat every person and situation we encounter everyday in our life?)

The saadhaka (spiritual aspirant) must have as his objective the state of mental preparation, for the realization of Godhead at any moment. That is to say, his heart must be cleansed of despair, free from hesitation and doubt, and open to the waves of bliss that surge in from all sides. In God's Universe, Love brings the waves in, ever expansive as they are! Follow the directives, with faith and sincerity. That will help you to realize the purpose of life. Since every act has its appropriate reaction, beware of evil intentions, wicked words, acts that harm others and therefore harm you, and so live that you revere all as moving temples of the Divine.

Seorang saadhaka (aspiran spiritual) hendaknya beraspirasi untuk melakukan persiapan mental dalam rangka untuk mencapai realisasi Divinity yang dapat muncul setiap saat. Dengan perkataan lain, ia harus memurnikan hatinya agar jauh dari keputus-asaan, kebimbangan dan keragu-raguan, serta membuka diri terhadap aliran gelombang bliss yang menerjang dari segala sisi. Di alam semesta Tuhan, cinta-kasih membawa-serta gelombang yang maha luas itu! Ikutilah petunjuk-petunjuk yang telah diberikan dengan keyakinan dan ketulusan, maka engkau akan mendapatkan bantuan dalam merealisasikan maksud & tujuan kehidupan ini. Oleh karena setiap perbuatan akan mempunyai akibatnya yang sesuai & sepadan, maka untuk itu, engkau perlu mewaspadai niat-niat (di dalam dirimu) yang jahat, ucapan yang tidak baik serta tindakan yang berpotensi untuk merugikan orang lain serta dirimu sendiri. Jalanilah kehidupan dimana engkau menghormati setiap orang sebagai kuil tempat dimana bersemayamnya Divine.

- Divine Discourse, April 18, 1971.

Wednesday, October 17, 2007

Sai Inspires - 17th October 2007 (What is the true significance of conducting sacrifices prescribed by our ancient scriptures?)

Few people care to enquire into the nature of the inner yajna (sacrifice). The inner meaning of yajna is to recognize one's inherent Divinity and offer all of one's bad qualities as a sacrificial offering at the sacred site of one's mind. Yajnas have been prescribed for the purpose of enabling people to make a sacrifice of all their bad thoughts and actions. Fickleness, hatred, stealing and foolish stubbornness are not natural traits for man. The presence of these traits in man must be attributed to the legacy from previous births. The sacrifice which everyone has to make is the giving up of all bad qualities in him.

Hanya sedikit orang yang benar-benar ingin mengetahui tentang pengertian sebenarnya dari yajna (sering juga disebut upacara api-homa). Arti sebenarnya dari yajna adalah upaya-upaya untuk mengenali sifat Divinity yang ada di dalam diri manusia sembari melepaskan kualitas-kualitas diri yang negatif kepada api pengorbanan yang ada di dalam batin masing-masing. Yajna berguna sebagai media bagi manusia untuk mengorbankan pikiran dan perbuatannya yang negatif. Sikap yang plin-plan, kebencian, mencuri dan kebodohan batin – semuanya ini bukanlah sifat asli seorang manusia. Kehadiran negativitas tersebut adalah merupakan hasil warisan dari kehidupan-kehidupan yang lampau. Oleh sebab itu, yang perlu dikorbankan oleh setiap orang adalah berupa kualitas negatif yang ada di dalam diri masing-masing.

- Divine Discourse, October 6, 1989.

Sai Inspires - 16th October 2007 (What is the true meaning of Peace and Love?)

Shanti or Peace denotes the capacity to bear success and failure, joy and misery, defeat and victory, with perfect equanimity. And, Prema or Love is the quality of Sarvasamaanatha (equality of every one), of not only Ahimsa (non-violence) but the conscious acceptance of the duty of love, because every being is a spark of Divinity, as much of a spark as you yourself.

Yang dimaksud dengan Shanti atau kedamaian adalah kemampuan untuk mempertahankan keseimbangan batin ketika menghadapi kesuksesan dan kegagalan, kegembiraan dan kesedihan, serta kemenangan dan kekalahan. Sementara itu, Prema atau cinta-kasih adalah kualitas yang dimiliki oleh Sarvasamaanatha (perilaku yang bersikap adil & sama (equal) terhadap setiap orang). Prema bukan hanya diasosiasikan dengan Ahimsa (tanpa-kekerasan) saja, akan tetapi ia adalah bentuk kesadaran yang siap menerima tugas atau kewajiban cinta-kasih, sebab setiap insan mahluk hidup adalah bagian dari percikan Divinity, sebagaimana halnya dengan dirimu sendiri.

- Divine Discourse, December 6, 1963.

Monday, October 15, 2007

Sai Inspires - 15th October 2007 (How should we utilise the faculties God has gifted us with?)

The Grace of God is not easily attainable. The feeling of I-ness, Ahamkaara, which makes one say “I am the Doer,” should be plucked by the roots from the heart. Everyone, be he learned or illiterate, should feel an overwhelming urge to know God. God has equal affection towards all His children, for to illumine is the nature of light. Utilizing that illumination, some can read good books and others can do their daily tasks, whatever they are. So too, uttering God’s name, one can progress in the realization of God, another can even do wicked deeds! It all depends on how you use the light. But the Lord’s name is without blemish, always and forever.

Rahmat Tuhan tidak mudah untuk diperoleh. Perasaan ke-aku-an, Ahamkaara, yang membuat seseorang mengatakan “Aku-lah yang melakukannya,” haruslah dicabut tuntas sampai ke akar-akarnya dari dalam hati. Setiap orang, baik terpelajar maupun tidak, haruslah memiliki keinginan yang mendalam untuk mengenal Tuhan. Beliau mengasihi setiap insan sebagai anak-anak-Nya, seperti halnya sifat cahaya yang menerangi semuanya. Dengan memanfaatkan cahaya penerangan itu, seseorang bisa membaca buku yang baik dan orang lain bisa terbantu untuk melaksanakan tugas sehari-harinya. Demikian pula, sembari mengucapkan nama-nama Tuhan, seseorang bisa mengalami kemajuan dalam hal mencapai realisasi ke-Tuhan-an; sedangkan orang lain malahan mungkin bisa melakukan kejahatan sembari mulutnya masih tetap mengulang-ulang nama Tuhan! Semuanya tergantung pada bagaimana engkau memanfaatkan cahaya lampu tersebut. Namun di atas segalanya, nama Tuhan adalah selalu tanpa noda untuk selamanya!

- Prema Vahini.

Sai Inspires - 14th October 2007 (How can we live like true human beings in our society?)

How are human qualities to be promoted in society? Society is made up of individuals. No person can be an island to himself. Living amidst fellow human beings, every person has to sow the seeds of love, rear the plants of harmony and offer the fruits of peace to society. Thereby his/her humanness is manifested.

Bagaimanakah caranya mempromosikan nilai-nilai kemanusiaan di tengah-tengah masyarakat? Society atau masyarakat adalah terbentuk dari masing-masing individu. Tidak ada seorangpun yang bisa hidup sendirian. Oleh karena kita hidup di tengah-tengah sesama manusia, maka menjadi kewajiban bagi setiap orang untuk menebarkan benih-benih cinta-kasih, membesarkan tanaman keharmonisan serta mempersembahkan buah-buahan dalam bentuk kedamaian di tengah-tengah lingkungan masyarakat. Dengan demikian, maka nilai-nilai kemanusiaanmu akan termanifestasikan.

- Divine Discourse, September 26, 1987.

Sai Inspires - 13th october 2007 (Why is serving others so important?)

Seva (service) is the highest of paths of Devotion which wins the Grace of God. It promotes mental purity, diminishes egoism and enables one to experience, through sympathetic understanding, the unity of mankind.

Seva (pelayanan) merupakan jalan devotion (bhakti) yang paling mulia dalam memenangkan rahmat Tuhan. Seva menghasilkan pemurnian mental, menyingkirkan egoisme dan memungkinkan setiap orang untuk mengalami sendiri – melalui pemahaman yang menyeluruh – tentang unity umat manusia.

- Divine Discourse, November 21, 1986.

Sai inspires - 12th October 2007 (Is society in any way related to our individual spiritual growth?)

Wherever men gather with a purpose into a society, there you perceive the Divine - the Sath, Chith and Aanandha (Being, Awareness and Bliss)! A personality has arisen; a clearer flash of reason is evident; a deeper joy fills the hearts. Immerse yourselves in them. This is real spiritual endeavour; not pining in solitude or reveling in the breaking of bonds with others of your kind, priding on your independence! Be with others; in others; for others. Be with all, for all, in all. But, nevertheless, be unattached, be the unfailing source of Love. Therein lies success in spiritual endeavour, the triumph of spiritual discipline. Thus, is the Sai in you manifested; thus is the world fostered; thus is the heart purified enough to install Sai within.

Dimanapun manusia berada, bila tujuannya adalah demi untuk kebaikan society (masyarakat), maka di sana engkau akan menemukan Divine – Sath, Chith dan Aanandha (kebenaran, kesadaran dan bliss)! Di kala itu, personalitas (the real self) akan muncul; pemahaman menjadi semakin jelas dan hati akan terisi oleh kebahagiaan. Benamkanlah dirimu dalam pengalaman tersebut. Inilah upaya-upaya spiritual yang sebenarnya; spiritualitas sama sekali bukanlah diartikan sebagai kegiatan mengasingkan diri ataupun usaha-usaha untuk memutuskan hubungan dengan orang lain serta membanggakan diri dalam kemandirianmu! Justru sebaliknya, engkau harus berdampingan dengan orang lain; di tengah-tengah mereka dan untuk mereka. Be with all, for all, in all. Akan tetapi, walaupun berada di tengah-tengah masyarakat, janganlah engkau terpengaruh (ternoda); sebaliknya, jadilah sumber cinta-kasih. Inilah faktor kesuksesan dalam latihan spiritual, puncak kemenangan disiplin spiritual. Dengan demikian, maka Sai yang ada di dalam dirimu akan termanifestasikan; kelestarian dunia akan tetap terpelihara dan hatimu akan menjadi cukup murni untuk dihuni oleh Sai.

- Divine Discourse, October, 1971.

Thursday, October 11, 2007

Sai Inspires - 11th October 2007 (What is the realisation that will put an end to all our tribulations?)

When a man calls his body, "My body" who is the owner or the indweller of the body? If he is not the body or the mind, what is he? Without understanding who he is, is there any meaning in talking about "my body", "my mind" and the like? Is there any sense in seeking to acquire various possessions without understanding who is acquiring them and for what purpose? Once it is realized that the mind is the cause of this "my-ness", and that it is made up of desires, then one will strive to achieve the state of Samadhi (superconscious state of bliss) in which all agitations in the mind cease.

Apabila seseorang menyebut badan jasmaninya sebagai “ini adalah badanku”, lalu siapakah yang menjadi pemilik atau yang menghuni badan tersebut? Jikalau dia bukanlah badan dan juga bukan batin (mind), lalu apakah dia? Tanpa terlebih dahulu memahami dirinya sendiri, apakah seseorang cukup waras untuk membicarakan tentang “badanku”, “batinku” dan sejenisnya? Apakah cukup lumrah bagi seseorang untuk mengumpulkan harta kekayaan sementara dirinya tidak mengetahui siapa yang melakukannya dan untuk apa tujuannya? Setelah engkau menyadari bahwa batin (mind) merupakan sumber biang-kerok dari perasaan “my-ness” (sensasi kepunyaan-ku), dan bahwa batin terbuat dari serangkaian desires (keinginan), maka engkau akan berupaya untuk mencapai keadaan Samadhi (kondisi superconscious bliss), yaitu keadaan dimana segala bentuk agitasi batin telah berakhir.

- Divine Discourse, October 12, 1983.

Wednesday, October 10, 2007

Sai Inspires - 10th October 2007 (The Simple Law of Universe)

Men today seek the fruits of good deeds without engaging themselves in good actions. They wish to avoid the consequences of sinful actions while indulging in such actions. If you want to avoid the results of bad deeds, you should avoid such actions. If you desire the fruits of meritorious deeds, you must do meritorious acts.

Hari ini manusia mendambakan buah dari hasil perbuatan baik, padahal dirinya tidak pernah melakukan perbuatan yang bajik. Sebaliknya, mereka berharap untuk terhindar dari konsekuensi perbuatan jahat walaupun dirinya sendiri masih tetap terlibat dalam perbuatan yang tidak benar. Jikalau engkau ingin terhindar dari hasil perbuatan jahat, maka engkau harus menghindari perbuatan itu sendiri. Sebaliknya, jikalau engkau mendambakan pahala dari perbuatan yang bajik, maka engkau perlu melakukan kebajikan.

- Divine Discourse, June 18, 1989.

Tuesday, October 9, 2007

Sai Inspires - 9th October 2007 (What is the quest that can fill our lives with joy?)

As you grow in years, detachment too should grow; as time passes by, the fruit must get ripe and become sweet. Life should not be frittered away in accumulating riches; it should be spent in knowing about the glory of God and in realizing Him in the innermost being of oneself. No other intellectual exercise can give such joy. To discard this attempt as only seeking to discover the unknowable, as some men are prone to argue, is the height of foolishness. They are labeling the true as "trash" and cherishing the trash as "true"!

Seiring dengan bertambahnya usiamu, maka semangat ketidak-melekatanmu (detachment) juga seharusnya ikut berkembang; seperti halnya buah yang semakin matang dan menjadi manis. Kehidupan ini janganlah disia-siakan dalam tindakan akumulasi harta kekayaan; sebaliknya pergunakanlah waktumu untuk mengetahui tentang kemuliaan Tuhan dan merealisasikan kesadaran Divine di dalam dirimu. Dengan melakukan itu, maka engkau akan memperoleh kebahagiaan yang tidak akan bisa diberikan oleh praktek-praktek intellektual lainnya. Banyak orang yang saling berargumentasi tentang hal ini, dimana sebagai akibat kebodohan batinnya, (sebagian dari) mereka menganggap kebenaran sebagai “sampah” dan sebaliknya malahan memperlakukan sampah sebagai “kebenaran”!

- Divine Discourse, December 12, 1964.

Monday, October 8, 2007

Sai Inspires - 8th October 2007 (What is the awareness in which we must lead every moment of our lives?)

A machine without the power to activate it, is of no use; so too, a human body without the Divine Spark is of no avail. Without that spark, every person is a tree that bears no fruit, a cow that yields no milk; one must become aware of the spark, he/she must know how to illumine oneself with it and cover oneself with its splendour.

Mesin yang tidak memiliki sumber catu-daya merupakan barang yang tidak ada gunanya; demikian pula, badan jasmani yang tidak memiliki Divine Spark (percikan Ilahi) juga merupakan instrumen yang tak ada manfaatnya. Tanpa adanya percikan itu, manusia ibarat pohon yang tidak menghasilkan buah, sapi yang tidak memberikan susu; oleh sebab itu, setiap orang harus menyadari percikanNya, ia harus tahu bagaimana caranya menerangi dirinya sendiri serta mencakupi dirinya dalam kecemerlangan-Nya.

- Divine Discourse, March 26, 1968

Sai Inspires - 7th October 2007 (How can we cross the river of life without any impediments?)

The flow of water in an ordinary river may increase or decrease, but the river of life, with ever multiplying desires as its water, knows no decrease. It may become so wide as to be a boundless expanse of uncontrollable, turbulent waters. To cross such a river, therefore, a boat is absolutely necessary. The name of God, is the boat that takes you across this river.

Aliran air di sungai mungkin bisa bertambah ataupun berkurang, akan tetapi air dalam sungai kehidupan, yang disimbolisasikan oleh keinginan (desires) yang senantiasa bertambah banyak, tidak akan pernah menciut. Alirannya bisa menjadi sedemikian luas sehingga mencakupi area yang begitu luas dan tak terkendali. Untuk menyeberangi sungai semacam ini, maka engkau membutuhkan sebuah sampan/kapal. Nah, kapal yang akan menyeberangkanmu tiada lain adalah nama Tuhan.

- Summer showers, 1979.

Saturday, October 6, 2007

Sai Inspires - 6th October 2007 (What is the most important virtue we must cultivate and foster in the spiritual path?)




Ancient Indian scriptures called upon each one to discover the truth about himself. Self-knowledge is the key to all knowledge. For this, you must approach the proper person to teach you the means to discover your true Self. If you are not prepared to undertake this self-enquiry, cultivate faith, if not in God, at least in your own Self. The man who has no faith in himself can have no faith in anybody. He cannot have faith in God. Make viswasa (faith) your life breath.

Kitab suci India menganjurkan kita untuk berupaya menemukan kebenaran atas diri kita sendiri. Self-knowledge (pengetahuan tentang diri) merupakan kunci untuk segala pengetahuan lainnya. Untuk itu, engkau perlu mendekati orang yang tepat untuk mengajarimu cara-cara menemukan jati dirimu yang sejati. Jikalau engkau belum siap untuk self-enquiry ini, maka setidaknya milikilah keyakinan terhadap Tuhan atau setidaknya terhadap dirimu sendiri. Manusia yang tidak yakin kepada dirinya tidak akan bisa memiliki keyakinan terhadap siapapun juga. Mustahil baginya untuk yakin kepada Tuhan. Oleh sebab itu, jadikanlah viswasa (keyakinan) sebagai nafas-hidupmu.

- Divine Discourse, October 6th, 1989.

Friday, October 5, 2007

Sai Inspires - 5th October 2007 (What should be our vision in life? How can we find fulfilment in life?)



Do you intend to be in society? Do you crave to serve it and be served by it? Then, seek the God in all; see the same in all. Yearn to worship that God by selfless service. That alone makes you a true limb of society. If you feel separate, distinct, outside and beyond society, you will run after name and fame, you will be enslaved by hate and partiality, and ruined in the end. So, cast out those evil attitudes; feel that you are giving society what is its due, offering God His own gift of skill and intelligence. Vow to serve, to dedicate. Cultivate Love; society is the reflection of the God you adore, the God whose nature is bliss. Transform yourself into Love, and become bliss. Adore society as the Divine Body; that is the Truth, the eternal vision.

Apakah engkau ingin berada di tengah-tengah society (masyarakat)? Apakah engkau berniat untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat dan menerima pelayanan kembali? Jikalau ya, maka carilah Tuhan yang ada di dalam diri setiap orang; perlakukanlah setiap orang secara sama rata. Kembangkanlah kerinduan untuk beribadah kepada Tuhan melalui pelayanan tanpa pamrih (selfless service/seva). Dengan demikian, maka engkau akan menjadi organ masyarakat. Jikalau engkau merasa dirimu eksklusif (terpisah & tersendiri) dari lingkungan masyarakat, maka engkau akan mengejar nama dan ketenaran; sehingga akibatnya, engkau akan dibudaki oleh kebencian dan sikap parsialitas (keberpihakan pada kelompok tertentu) dan akhirnya kegagalan akan menghampirimu. Oleh sebab itu, perbaikilah attitude yang jahat; anggaplah bahwa engkau memberikan kepada masyarakat yang memang merupakan jatahnya, mempersembahkan kembali kepada Tuhan hadiah-hadiah yang telah diberikan-Nya, yaitu ketrampilan dan kepintaranmu. Bersumpahlah untuk senantiasa memberikan pelayanan dan berdedikasi. Kembangkanlah cinta-kasih; masyarakat adalah refleksi Tuhan yang engkau puja, yang tiada lain adalah bliss. Transformasikan dirimu menjadi cinta-kasih dan menjadi bliss. Hormatilah masyarakat sebagai Divine body; inilah kebenaran, the eternal vision.

- Divine Discourse, October, 1971.

Thursday, October 4, 2007

Sai Inspires - 4th October 2007 (How can we make the journey of our life smooth and pleasant?)




Look upon life as one long railway journey. In this journey it is not good to carry heavy luggage. There are stations on the way like Aarthi (suffering), Arthaarthi (desire for objects), jignaasu (yearning for understanding) and Jnaani (Self-realization). The less luggage one carries the more easily and quickly one can get through various stages and reach the destination. The primary requisite, therefore, is the eradication of desires.

Lihatlah kehidupan ini sebagai sebuah perjalanan (dengan kereta-api) yang panjang. Dalam perjalanan ini, sangatlah tidak disarankan untuk membawa koper yang berat. Sepanjang lintasan tersebut, kita akan berhenti di berbagai stasiun seperti Aarthi (penderitaan), Arthaarthi (keinginan atas obyek-obyek duniawi), Jignaasu (dorongan untuk memiliki pemahaman yang benar) dan Jnaani (Self-realization/pencerahan diri). Semakin ringan barang bawaanmu, maka perjalanan tersebut menjadi semakin mudah dan cepat dalam melalui berbagai tahapan yang ada hingga akhirnya sampai di tempat tujuan. Persyaratan utamanya adalah pemberantasan keinginan-keinginan (desires).

- Divine Discourse, October 12, 1983.

Wednesday, October 3, 2007

Sai Inspires - 3rd October 2007 (Who is an atheist? Are there nonbelievers?)




There are no atheists really speaking, though some of you might aver that there are. For, when love is God and when even those, who do not assert that God exists, love some one or something, that love itself guarantees that they are capable of sacrifice, selflessness and pity. Probably, you believe that those who have no faith in the scriptures and those who do not aver that there is some Omnipresent, Omniscient Being are atheists; but let me tell you, those who revere their parents and foster them, who love and protect with care their brothers and sisters, who believe in gratitude, love, affection, duty and righteousness - they are theists and all these qualities are enough to save them from perdition. Love all; revere all; help all to the best of your ability. Endeavour to be as beneficial, as sweet, and as soft as possible.

Walaupun sebagian orang menyatakan bahwa terdapat golongan atheist, namun sebenarnya tidaklah demikian. Cinta-kasih adalah Tuhan dan mereka – yang menyatakan bahwa Tuhan tidak eksis – juga mencintai seseorang atau sesuatu, cinta-kasih ini cukup menjadi jaminan bahwa mereka akan sanggup untuk berkorban, tanpa-pamrih (selflessness) dan mempunyai belas-kasihan. Mungkin engkau berpandangan bahwa atheist adalah mereka yang tidak percaya atas Omnipresent dan Omniscient-nya Tuhan; namun ketahuilah bahwa mereka yang menghormati dan merawat orang-tuanya, yang mencintai dan melindungi saudara-saudaranya, yang tahu berterima-kasih, memiliki cinta-kasih, kasih-sayang, kewajiban dan kebajikan – mereka ini semuanya adalah golongan theist dan kualitas-kualitasnya yang luhur tersebut sudah jauh dari cukup untuk menyelamatkan diri mereka dari ‘neraka’. Cintailah dan hormatilah sesamamu; bantulah setiap orang sesuai dengan kemampuanmu. Berusahalah untuk menjadi orang yang bermanfaat, ramah-tamah dan sopan-santun.

- Divine Discourse, December 12, 1964.

Tuesday, October 2, 2007

Sai Inspires - 2nd October 2007 (What is the most important harmony missing in man today?)



When a match is struck against the matchbox, it catches fire. But, where is the fire? Is it in the matchstick or the matchbox? In fact, the fire is latent in both. It is when they come in contact that ignition results. Similarly, the effulgence latent in the heart and mind emerges as Divinity when the heart and mind act in unison. Just as the fire latent in the matchbox and matchstick is one only, the effulgence encased in the mind and heart is the same.

Ketika sebatang korek-api digesekkan pada bagiannya yang sesuai pada permukaan kotak pembungkusnya, maka dihasilkanlah api. Lalu kita bertanya: darimanakah api itu berasal? Apakah api tersebut terdapat di batang korek-apinya ataukah di kotaknya? Jawabannya adalah bahwa api tersebut memang laten terdapat di kedua-duanya. Percikan api hanya dapat dihasilkan jikalau mereka saling bertemu. Demikian pula, benih-benih ke-Tuhan-an laten terdapat di dalam hati dan batin, yang apabila keduanya saling sinkron, maka dihasilkanlah Divinity. Seperti halnya api yang laten terdapat di kotak dan batang korek-api adalah sama adanya; maka demikian pula, ke-Tuhan-an yang terselubung di dalam batin dan hati juga adalah satu adanya.

- Summer Showers 1996, Page 56.

Monday, October 1, 2007

Sai Inspires - 1st October 2007 (two most essential tenets for finding fulfilment in life)



For achieving anything in life, two things are essential: firm faith and pure love. People should not think that pleasure and pain are caused by some external forces. It is not so. They are the result of one's own thoughts. There is no meaning in blaming others. If you develop love of God, that love will banish all sorrow and evil tendencies like attachment, anger and envy.

Untuk mengapai kesuksesan dalam segala aspek kehidupan, maka diperlukan dua hal yang pokok, yaitu: keyakinan yang mantap dan cinta-kasih yang murni. Janganlah engkau mengira bahwa kesenangan dan kesedihan adalah disebabkan oleh faktor-faktor eksternal. Sama sekali bukan! ia justru adalah buah akibat dari pikiranmu sendiri. Tak ada gunanya engkau menyalahkan orang lain. Jikalau engkau mengembangkan cinta-kasihmu kepada Tuhan, maka cinta-kasih itu akan menyapu-habis segala bentuk kesedihan dan kecenderungan negatif seperti kemelekatan, kemarahan dan keiri-hatian.

- Divine Discourse, June 20, 1996.

Sai Inspires - 30th September 2007 (The True Nature of Divinity)


The sandalwood tree without any feeling of bitterness, imparts its fragrance even to the axe that fells it. Divinity responds in the same manner. Some persons, blinded by their ignorance, arrogance and folly, may say all sorts of things about God. They may even imagine thereby that they have assailed God. But God remains totally unaffected. Even to such bad and evil-minded persons, He offers His blessings and benediction.

Ketika sebuah kapak memotongnya, pohon cendana (sandalwood) sama sekali tidak merasakan kesakitan dan malahan ia menyebarkan aroma yang harum. Demikian pula tanggapan yang diberikan oleh Divinity. Ada beberapa orang, yang disebabkan oleh karena kebodohan batin dan kesombongannya, mereka melakukan berbagai tindakan yang tidak ‘bersahabat’ kepada Tuhan. Mereka beranggapan bahwa seolah-olah mereka sudah berhasil melakukan ‘penyerangan’ terhadap-Nya. Namun ketahuilah bahwa Tuhan sama sekali tidak akan pernah terpengaruh. Walaupun berpikiran jahat dan negatif, orang-orang ‘bodoh’ itu tetap dikasihi dan diberkati oleh-Nya.

- Divine Discourse, June 18, 1989.

Sai Inspires - 29th September 2007 (The True Meaning of Non-Violence)



Ahimsa (Non-violence) does not mean, as is commonly understood, not causing harm to others. It really means that one should not cause harm to anyone in thought, word or deed. This is the most important human quality. Only when this has been developed, will one be qualified to practice and experience Truth. Truth does not mean merely telling the facts as one sees or knows them. Truth is that which does not change with time. It must be spoken with complete purity of mind, speech and body.

Yang dimaksud dengan Ahimsa (tanpa-kekerasan) bukanlah hanya sekedar tidak melukai orang lain (melalui perbuatan fisik). Pengertian Ahimsa yang sebenarnya adalah tidak melukai siapapun juga baik itu melalui pikiran, ucapan maupun perbuatan. Inilah kualitas kemanusiaan yang paling penting. Setelah engkau sanggup mengembangkan Ahimsa, maka barulah engkau layak (qualified) untuk mempraktekkan serta mengalami sendiri Truth (kebenaran). Yang dimaksud dengan Truth (kebenaran) bukanlah hanya diartikan sebagai menceritakan fakta sesuai dengan yang dilihat dan diketahui. Kebenaran atau Kesunyataan adalah sesuatu yang tidak mengalami perubahan seiring dengan berjalannya waktu. Untuk mengutarakan Truth, dibutuhkan batin, ucapan dan badan yang murni.

- Divine Discourse, September 26, 1987.