Thursday, February 28, 2008

Sai Inspires 28th February 2008 (How can we attain and remain in supreme peace?)


It is at the mother's lap that the child learns the art of living; so also it is Prakriti (Nature) that teaches man how to succeed in the hard struggle and win Prashanti (supreme peace). Break the laws of Nature and she boxes you in the ear; obey her commands and listen to Her warnings and She will pass on to you your heritage of immortality. That is to say, have the Lord as your Guide and Guardian and adhere to the rules of dharma (righetousness). Let the dull-witted man hug his delusion that happiness and peace can be secured through slavery to the senses. Those who know that the world is a mixture of truth and falsehood, and therefore a big conundrum or mithya (false), will leave off the outer attractions and concentrate on the inner joy of attachment to God.

Seni-kehidupan dipelajari oleh sang anak di atas pangkuan ibunya; demikian pula, Prakriti (Nature/alam) mengajari manusia cara-cara untuk bertahan hidup sehingga dapat mencapai Prashanti (kedamaian tertinggi). Apabila engkau melanggar aturan-aturan alam, maka engkau akan menerima konsekuensinya yang setimpal; sebaliknya apabila engkau mentaati perintah dan mendengarkan nasehat-Nya, maka engkau akan menerima warisan yang memang menjadi milikmu, yaitu immortality (imortalitas/Atmic Reality). Dengan perkataan lain, jadikanlah Tuhan sebagai panutan dan pelindungmu dan patuhilah hukum-hukum dharma (kebajikan). Orang-orang yang bodoh (secara batiniah) masih beranggapan bahwa kebahagiaan dan kedamaian bisa tercapai melalui pemuasan nafsu-nafsu indirawi. Akan tetapi, bagi mereka yang sudah menyadari bahwa dunia ini adalah kombinasi antara kebenaran dan kepalsuan, maka mereka tidak akan tertarik lagi dengan daya-pikat eksternal dan akan lebih berkonsentrasi untuk mencapai keceriaan internal melalui persekutuan dengan Tuhan.

- Divine Discourse, March 6, 1962.

Wednesday, February 27, 2008

Sai Inspires - 27th February 2008 (What is the true meaning of renunciation?)


The ancient Indian scriptures have declared that an individual can attain immortality by thyaaga (renunciation) alone and not by any other means, actions, wealth or progeny. What is it that has to be renounced? One has to renounce one's bad qualities... To manifest their inherent divine nature, people have to cultivate love of God, develop fear of sin and adhere to sanghaneethi (social morality). When one has fear of sin and love of God, he/she will not indulge in immoral acts. Thereby morality in society will automatically be ensured.

Kitab-kitab suci India telah menyatakan bahwa keberhasilan seorang individu untuk mencapai immortality (Divinity) adalah ditentukan oleh faktor thyaaga (renunciation/pelepasan) saja. Keberhasilan tersebut sama sekali tidak dipengaruhi oleh cara/tindakan lain seperti: kesejahteraan maupun oleh ada/tidaknya keturunan. Lalu, pertanyaan selanjutnya adalah: apa sajakah yang harus dilepaskan? Yang perlu engkau lepaskan/buang adalah kualitas-kualitas dirimu yang negatif... Untuk mewujudkan sifat-sifat Keilahian yang ada di dalam dirimu, maka engkau harus memupuk cinta-kasih terhadap Tuhan, jauhilah kejahatan dan ikutilah sanghaneethi (nilai-nilai moralitas kehidupan bermasyarakat). Apabila engkau menjauhi kejahatan dan mencintai Tuhan, maka secara otomatis engkau tidak akan terlibat dalam perbuatan-perbuatan amoral, sehingga dengan demikian, maka nilai-nilai moralitas di tengah-tengah masyarakat secara otomatis akan ditegakkan.

- Divine Discourse, June 5, 1994.

Tuesday, February 26, 2008

Sai Inspires - 26th February 2008 (a very important relationship that we must understand and live by)


Just as the hands, ears, eyes and legs are all angas (limbs or organs) of individual human body, the bodies of all human beings are the limbs of society. Again, society itself is a limb of mankind. And humanity is a limb of Prakrithi (Nature) and Nature is a limb of Divinity. One should understand this Anga-Angee-Bhaava (intimate limb) relationship between Divinity and human beings, in the proper perspective.

Seperti halnya tangan, telinga, mata dan kaki adalah angas (bagian atau organ) dari tubuh manusia, maka demikian pula badan atau tubuh manusia menjadi bagian/organ dari society (masyarakat). Selanjutnya masyarakat adalah bagian dari umat kemanusiaan (humanity) dan humanity adalah bagian dari Prakrithi (Nature/alam) serta prakrithi adalah bagian dari Divinity. Engkau harus memahami hubungan erat ini yang terjalin antara Divinity dan manusia (Anga-Angee-Bhaava).

- Divine Discourse, May 20, 1993.

Monday, February 25, 2008

Sai Inspires - 25th February 2008 (How can we access the limitless power that is God?)


We have to recognize that human life depends on the functioning of the mind. As long as one is governed by the mind, one continues to be human. Once one goes beyond the mind, one can enjoy the vastness of the limitless expanse of Cosmic Consciousness. Here is an example: Suppose you construct a spacious house with a number of bed rooms, living rooms, dining room and bath room. The house appears divided into a number of small rooms. This is because of the walls put up for partitioning into rooms. If the walls are pulled down, the house will be one vast mansion. Similarly, the body is the Upaadhi (wall) which limits one's perception to the narrow confines of the body. Once you get rid of this body consciousness, you will experience the vast expanse of the Universal Cosmic Consciousness which is all-pervasive.

Kita harus menyadari bahwa kehidupan manusia tergantung pada berfungsinya mind. Selama seseorang masih diatur oleh mind, maka selama itu pula dia masih menjadi manusia. Tetapi apabila engkau telah melampaui mind, maka engkau akan dapat menikmati kemaha-luasan dari Cosmic Concsiousness (Kesadaran Kosmik) yang tanpa batas. Berikut adalah sebuah contoh: Misalkan engkau membangun sebuah rumah besar yang memiliki beberapa kamar tidur, ruang keluarga, ruang makan dan kamar mandi. Nah, rumah itu terlihat terbagi-bagi menjadi beberapa ruangan kecil. Hal ini terjadi oleh karena terdapat dinding atau tembok pemisah antar ruangan tersebut. Seandainya saja tembok-tembok itu diruntuhkan, maka akan terlihatlah bahwa ruangan di dalam rumah itu sunguh amat lapang/besar. Demikianlah, badan jasmani kita ini adalah bagaikan Upaadhi (dinding/tembok) yang membatasi persepsimu sehingga menjadi terbatas hanya di sekitar badan jasmanimu belaka. Sekali engkau sanggup membongkar hambatan-hambatan yang ditimbulkan oleh body consciousness, maka engkau akan bisa merasakan Universal Cosmic Consciousness yang serba all-pervasive dan expansive (mencakupi segalanya).

- Divine Discourse, May 20, 1993.

Sai Inspires - 22nd until 24th February 2008





Suffering entitles you more to the Grace of the Lord. When suffering comes in waves, one behind the other, be glad that the shore is near: bear them bravely; do not like cowards throw the blame on some outside Power or develop dislike for the Lord... Welcome the test because thereafter you are awarded the certificate. It is to measure your progress that tests are imposed. So do not flinch in the face of grief. The Lord bestows a favour when He decides to test you, for He is impressed by your achievement and wants to put upon it the seal of His approval. Rise up to the demands of the test, that is the way to please the Lord.

Penderitaan akan semakin mendekatkan Rahmat Tuhan bagimu. Ketika penderitaan datang silih berganti bagaikan deburan ombak, maka di saat itu engkau justru harus merasa senang sebab itu adalah pertanda bahwa bibir pantai sudah semakin dekat: hadapilah semuanya dengan penuh ketabahan; janganlah sebaliknya malah menjadi pengecut dengan cara menyalahkan pihak lain atau bahkan menyalahkan Tuhan..... Hadapi dan sambutlah ujian dan cobaan sebab hanya dengan demikian engkau akan diberikan sertifikat lulus-uji. Cobaan-cobaan itu adalah dimaksudkan untuk mengukur kemajuan-kemajuan yang telah engkau capai. Janganlah membiarkan nyalimu menciut bila sedang didera persoalan. Ketika Tuhan memutuskan untuk mengujimu, maka itu berarti Beliau terkesan dengan pencapaian atau keberhasilan yang telah engkau capai dan Ia ingin memberikan cap persetujuan-Nya. Bangun dan hadapilah cobaan dan ujian itu, sebab dengan demikian, engkau akan menyenangkan hati-Nya.

- Divine Discourse, March 6, 1962.


Whatever talent a person has, should be dedicated to the service of the rest of humanity, indeed, of all living beings. Therein lies fulfillment. All men are kin, they are of the same likeness, the same build; moulded out of the same material, with the same divine essence in each. Service to man will help your divinity to blossom, for, it will gladden your heart and make you feel that life has been worth-while. Service to man is service to God, for He is in every man and every living being as well as in every stone and stump. Offer your talents at the Feet of God; let every act be a flower, free from creeping worms of envy and egoism, and full of the fragrance of love and sacrifice.

Apapun juga talenta (kemampuan) yang dimiliki oleh seeorang, hendaknya talenta tersebut didedikasikan untuk tindakan pelayanan kepada sesama umat manusia dan juga untuk seluruh mahluk hidup. Di sinilah terletak kunci berhasil/tidaknya kehidupan ini. Sesama manusia adalah saling bersaudara, mereka mempunyai wujud/rupa yang sama; tersusun dari materi yang sama dan mempunyai divine essense (nafas keilahian) di dalam dirinya masing-masing. Tindakan pelayanan akan membantumu untuk mewujudkan divinity yang ada di dalam dirimu; sehingga dengan demikian, hatimu akan terpuaskan dan engkau akan merasakan bahwa kehidupan ini menjadi sungguh amat bermakna. Pelayanan kepada manusia juga adalah merupakan pelayanan kepada Tuhan, sebab Tuhan eksis di dalam diri setiap mahluk dan juga di dalam setiap benda materi lainnya. Persembahkanlah talentamu di hadapan kaki Tuhan; biarkanlah setiap perbuatanmu menjadi persembahan bunga yang penuh dengan semerbak harum cintakasih serta pengorbanan dan sebaliknya terbebaskan dari hama dalam wujud keiri-hatian dan egoisme.

- Divine Discourse, December 5, 1964.


All academic distinctions or even observance of spiritual practices are of little use if there is no love in the heart. The heart is called Hridaya. It is made up of the two words, Hri and Daya (compassion). The Lord is described as Hridayavaasi (the Indweller in the heart). Love and Compassion are inherent in every person. Each one has to share their love with others. Failure to share one's love is gross ingratitude to society, to which one owes everything. One should give one's love freely to others and receive love in return. This is the deep significance of human life.

Semua gelar akademik maupun praktek-praktek spiritual kecil manfaatnya jikalau engkau tidak memiliki cintakasih di dalam hatimu. Hati nurani kita disebut dengan istilah Hridaya, yang terdiri atas dua suku kata: Hri dan Daya (welas-asih). Tuhan dijuluki sebagai Hridayavaasi (penghuni hati nurani). Cinta-kasih dan welas-asih terdapat di dalam diri setiap orang. Setiap orang haruslah membagikan cinta-kasihnya dengan sesama. Bila engkau tidak membagikan cinta-kasihmu, maka itu adalah pertanda bahwa engkau tidak tahu berterima-kasih kepada society (masyarakat) yang telah menyediakan segala-galanya bagimu. Berikanlah cinta-kasihmu secara tanpa pamrih kepada semuanya dan kelak engkau akan menerima imbalan cinta-kasih juga. Inilah makna sebenarnya dari kehidupan sebagai manusia.

- Divine Discourse, June 5, 1994.

Thursday, February 21, 2008

Sai Inspires - 21st February 2008 (What can the problems of the modern world be solved?)

Today, man hopes to dispel darkness by the sword, the gun and the bomb, while what is wanted is just a lamp. How can darkness be swept away by darkness, hatred by hatred, ignorance by deeper and vaster ignorance? The very lust for victory promotes darkness. Leave all thoughts of conquest aside; strive to know the Truth and when that is known, false notions fondly held by you will fall off of their own accord…The illumination of viveka (discrimination) will remove the darkness which hides the Divine essence of Man.

Di zaman ini manusia berharap untuk dapat mengusir kegelapan dengan berbekalkan senjata pedang, pistol dan bom; padahal sebenarnya yang diperlukan adalah hanyalah sebuah lampu saja. Bagaimanalah mungkin kegelapan diusir dengan kegelapan? Kebencian dengan kebencian? Kebodohan (batin) dengan kebodohan yang malah lebih parah? Nafsu untuk menggapai kemenangan justru akan semakin mempergelap segalanya. Buanglah semua pemikiran yang berkaitan dengan penaklukan itu; sebaliknya berjuanglah untuk mengetahui kebenaran, sebab apabila kebenaran sudah diketahui, maka semua pandangan salahmu akan tanggal satu per satu.... Pencerahan atas viveka (kemampuan diskriminatif) ini akan mengusir kegelapan yang selama ini menyembunyikan Divine essence setiap insan manusia.

- Divine Discourse, March 6, 1962.

Wednesday, February 20, 2008

Sai Inspires - 20th February 2008 (What can really add charm to our personality?)


Keep in line with the Divine, by means of Love, Truth and Goodness. Nowadays, there is an inevitable pair of accessories in the vanity bags of ladies and even in the pockets of gents: a mirror and a comb. You dread that your charm is endangered when your hair is in slight disarray, or when your face reveals patches of powder; so, you try to correct the impression immediately. While so concerned about this fast-deteriorating personal charm, how much more concerned should you really be about the dust of envy and hate, the patches of conceit and malice that desecrate your mind and hearts? Have a mirror and a comb for this purpose too! Have the mirror of devotion, to judge whether they are clean, bright and winsome; have the comb of wisdom (earned by discrimination) to control and channelize the feelings and emotions that are scattered wildly in all directions.

Senantiasa jalin dan jagalah hubunganmu dengan Divine melalui prinsip-prinsip cinta-kasih, kebenaran dan kebajikan. Dewasa ini di dalam tas setiap wanita dan bahkan kaum pria sekalipun, selalu dapat engkau temukan berbagai macam aksesoris untuk mempercantik diri (di dalam kantong kaum pria bisa ditemukan cermin dan sisir!) Engkau beralasan bahwa penampilanmu akan terusik jikalau rambutmu tidak tertata rapi atau ketika wajahmu masih memperlihatkan ceceran bedak. Apabila untuk penampilan luar yang bersifat sementara ini saja engkau begitu penuh perhatian, lalu bisa dibayangkan betapa besarnya kepedulian yang seharusnya engkau berikan untuk hal-hal yang berkenaan dengan debu/kotoran akibat adanya sikap-sikap iri-hati, kesombongan serta kebencian yang telah menodai batin dan hatimu itu? Untuk hal-hal yang lebih penting ini, maka engkau juga membutuhkan cermin dan sisir! Milikilah cermin dalam wujud devotion agar engkau bisa menilai apakah dirimu sudah bersih, bersinar dan menawan hati; dan milikilah sisir dalam bentuk kebijaksanaan (yang diperoleh melalui pengembangan kemampuan diskriminatif/buddhi) agar engkau bisa mengendalikan serta mengarahkan perasaan dan emosimu yang suka terombang-ambing secara tidak terkontrol.

- Divine Discourse, June 26, 1969.

Tuesday, February 19, 2008

Sai Inspires - 19th February 2008 (With what attitude should we serve?)


Social service should not become show-cial work (!) carried out for publicity or with the camera in view. Nor should it become slow-cial(!) work. Why go slow, when you are doing good to the deserving? Do as much as you can, as quickly as you can. If you cannot do any good, at least desist from doing harm; or from finding fault with those who serve you. Know that service is a better form of sadhana (spiritual effort) than even dhyaana (meditation). How can God appreciate the meditation you do, when adjacent to you, is someone in agony, whom you do not treat kindly, for whom you do not make all efforts to help?

Janganlah membiarkan aktivitas pelayanan sosial berubah menjadi aktivitas show-cial yang hanya buat konsumsi publisitas ataupun agar dapat terekam oleh kamera. Sebaliknya jangan pula membiarkannya menjadi pekerjaan slow-cial (yang serba lamban). Mengapa harus berlambat-lambat ketika engkau sedang berbuat kebaikan bagi mereka yang memang pantas untuk menerimanya? Lakukanlah sebanyak dan secepat mungkin (sesuai dengan kemampuanmu). Jikalau engkau merasa dirimu tidak sanggup memberikan pelayanan, maka setidaknya janganlah engkau menyusahkan orang lain atau mencari-cari kesalahan orang yang telah melayanimu. Ketahuilah bahwa tindakan seva adalah merupakan bentuk sadhana (upaya spiritual) yang jauh lebih berharga daripada dhyaana (meditasi). Bagaimanalah mungkin Tuhan bisa menghargai meditasimu jikalau pada saat yang bersamaan, engkau tidak peduli sama sekali terhadap orang di sampingmu yang sedang terbaring kesusahan?

- Divine Discourse, February 1st, 1970.

Monday, February 18, 2008

Sai Inspires - 18th February 2008 (When can we find true contentment and peace?)


Man feels that riches are paramount, but what he fancies as wealth are but material, momentary, trivial things. Character, virtue, brotherhood, charity - these are the real riches. The company of the good and godly is the wealth that is most worthy. Wisdom is the most precious wealth. The educated person must live with this conviction. Search for mere riches can never confer contentment and peace of mind. Each one yearns for lasting joy but does not stop to discover from where it can be got. It is not available anywhere outside him.

Manusia merasakan bahwa kekayaan (duniawi) adalah hal yang paling penting. Kekayaan yang diangan-angankan oleh manusia sebenarnya hanya bersifat material, temporer dan terdiri atas hal-hal yang trivial (sepele). Kekayaan yang sejati justru terletak pada ada/tidaknya karakter yang luhur, rasa persaudaraan dan sikap kedermawanan. Pergaulan dengan mereka yang saleh dan percaya kepada Tuhan merupakan kekayaan yang paling berharga. Demikian pula, kebijaksanaan (wisdom) juga merupakan kekayaan yang sungguh amat bernilai. Para kaum terpelajar haruslah hidup dengan berdasarkan keyakinan ini. Mengejar kekayaan semata-mata tidak akan bisa memberimu kepuasan sejati dan kedamaian batin. Setiap orang beraspirasi untuk mendapatkan kebahagiaan, namun ia tidak mau berhenti sejenak untuk merenungkan dimanakah sumber kebahagiaan itu terletak. Ketahuilah bahwa sumber tersebut tidak ada di luar, melainkan terdapat di dalam dirimu sendiri.

- Divine Discourse, December 1st, 1982.

Sai Inspires - 17th February 2008 (When can we experience God every moment of our lives?)


If God is present everywhere, people ask why we are not able to see Him. The ocean water reflects the sun above. When the water is disturbed, the reflection of the sun is also disturbed. Similarly, God is in every man. But he is not able to see Him because of his disturbed mind. A disturbed and vacillating mind can never reflect God....There is no use of meditation, chanting His name, etc. if the mind is not steady. Once you have the five senses under control, you can experience God. He is not far away from you. He is in you, below you, above you and all around you. God, in fact, is the indweller of man.

Jikalau Tuhan memang eksis dimana-mana, banyak orang yang bertanya mengapa mereka tidak bisa melihat-Nya? Air di permukaan laut memantulkan bayangan matahari di atas. Ketika permukaan air itu sedang tidak tenang, maka pantulan matahari juga ikut terganggu. Inilah analogi yang paling tepat untuk mendeskripsikan mengapa manusia tidak bisa melihat Tuhan. Selama pikirannya masih terganggu, maka ia tidak akan bisa melihat-Nya. Batin (mind) yang terganggu dan bimbang tidak akan pernah bisa merefleksikan Tuhan.... Tidak ada gunanya melakukan meditasi ataupun pengulangan nama-nama Ilahi, selama mind masih belum dikendalikan. Hanya apabila engkau telah sanggup untuk mengontrol kelima panca inderamu, maka barulah engkau akan bisa experience God. Beliau tidaklah jauh darimu. Dia justru ada di dalam dirimu, di bawahmu, di atasmu dan di sekelilingmu. Pada intinya, Tuhan adalah penghuni hati setiap orang.

- Divine Discourse, May 26, 2002.

Sai Inspires - 16th February 2008 (What is the true meaning of meditation?)


Sitting quiet and transferring your emotions and feelings to God is no dhyaana (meditation). You must transmute your emotions, desires and feelings with the help of God into Divine qualities. You should not bring God down to your level; rather you must raise yourselves to the level of God.

Dhyaana (meditasi) bukanlah diartikan sebagai melakukan duduk-diam dan mengalihkan emosi serta perasaanmu kepada Tuhan. Yang perlu engkau lakukan adalah merubah emosi, keinginan dan perasaanmu dengan berbekal bantuan Tuhan agar semuanya bisa ditransformasikan menjadi kualitas-kualitas Divine. Janganlah engkau menurunkan derajat Tuhan; melainkan justru engkau sendiri yang harus berupaya untuk meningkatkan derajatmu ke arah ke-Tuhanan.

- Divine Discourse, October 6, 1981.

Friday, February 15, 2008

Sai Inspires - 15th February 2008 (How can we discipline our restless mind?)


Do not worry at the faults of others. Try to look into your own and correct them. For the disease you suffer, the drug must be taken by you only. If you are not at fault, never bother about what others may say. But, first, examine your behaviour and see that it is above criticism. Grow straight; do not grow crooked. Do not read trash and see bad films; they warp character and extol violence and wickedness. Spend the money you have on good food instead. Develop good habits: doing Bhajan (group singing), practicing Asanas (yogic postures), meditation, silence - these will give you peace and joy, a clear brain and concentration. They will discipline the wayward mind.

Engkau tidak perlu terlalu merisaukan tentang kesalahan yang diperbuat oleh orang lain. Yang lebih penting adalah lihatlah kesalahanmu sendiri dan berupayalah untuk memperbaikinya. Atas penyakit yang engkau derita, engkau sendirilah yang harus meminum obatnya. Jikalau engkau tidak merasa ada yang salah dengan dirimu, maka tentunya engkau tidak perlu untuk merasa terganggu atas ucapan-ucapan orang lain. Yang pertama sekali harus dilakukan adalah memperhatikan perilakumu sendiri. Majulah dan berjalanlah lurus; janganlah mengikuti jalur yang berkelok-kelok. Jangan pula membaca buku dan film murahan (amoral); sebab karaktermu akan ikut terpengaruh dan akan membangkitkan sifat-sifat yang penuh kekerasan dan kejahatan. Sebaliknya, pergunakanlah uangmu untuk mendapatkan makanan yang sathwic. Kembangkanlah kebiasaan-kebiasaan yang positif seperti: bhajan, mempraktekkan Asanas (postur-postur Yoga), meditasi, duduk-hening – semua praktek-praktek ini akan memberimu kedamaian dan kegembiraan batin, pikiran dan konsentrasi yang jernih serta menjadi mantap.

- Divine Discourse, May 13, 1968.

Sai Inspires - 14th February 2008 (How can we create for ourselves a life free of worries and insecurity?)


Dedicate all your thoughts and aspirations to God and surrender yourselves to the Will of the Divine. Surrender may appear to be difficult, but it is not so. It is, in fact, like keeping your money in the bank. You will be able to draw money from the bank whenever you need it. Similarly when you have entrusted all your concerns to Bhagavan, you can draw from Him whatever you need. What is it that stands in the way of this surrender? It is your ego and your possessiveness. You do not have sufficient trust in the Lord. People desperately cling to their possessions saying: "My money, my house" and so on. They forget that when you surrender to the Divine, you acquire His Grace. Some time or the other your wealth will go. But once you have earned the Grace of God, you can feel secure and satisfied. The Lord does not need your wealth; He is always a "Chittachora" (one who steals the heart).

Dedikasikanlah semua pemikiran dan aspirasimu kepada Tuhan dan pasrahkanlah dirimu atas kehendak-Nya. Pada awalnya mungkin tindakan pasrah diri akan terlihat sulit, tetapi sebenarnya tidaklah demikian halnya. Sebenarnya ia mirip dengan kebiasaan menyimpan uang di bank. Engkau boleh menarik uang simpananmu kapanpun juga engkau membutuhkannya. Demikian pula analoginya, jikalau engkau sudah mempercayakan semua kebimbangan & kerisauanmu kepada Bhagawan, maka kelak engkau boleh meminta apapun juga yang engkau butuhkan dari-Nya. Sebenarnya apa sih yang menjadi penghalang bagi kita untuk pasrah-diri? Tak lain adalah egomu dan juga sikapmu yang posesif. Engkau tidak percaya sepenuhnya kepada Tuhan. Kebanyakan orang secara tak berdaya selalu bergantung kepada harta kepemilikannya sembari berkata: “Ini adalah uangku, rumahku, dsbnya.” Mereka lupa bahwa ketika engkau memasrahkan diri kepada-Nya, maka engkau akan memperoleh rahmat-Nya. Suatu hari kelak semua harta kekayaanmu akan sirna. Tetapi sekali engkau berhasil mendapatkan rahmat Ilahi, maka engkau akan merasakan keamanan dan kepuasan hati. Tuhan sama sekali tidak memerlukan harta bendamu; sebab Beliau selalu adalah “Chittachora” (ia yang mencuri hati – para bhakta-Nya).

- Divine Discourse, July 17, 1988.

Wednesday, February 13, 2008

Sai Inspires - 9th until 12th February 2008

9th February 2008

Shanthi or Peace does not mean that a person should not react at all, whatever others may say or however they may abuse him. It does not mean that he/she must be silent as a rock. It involves mastery of all the senses and all the passions; inner peace must become one's nature. Shaanthi has detachment as the basic quality. The sea, which likes to gather and possess, lies low; the cloud that likes to renounce and give up is high in the sky. Shanthi endows man with an unruffled mind and steady vision. The prayer for shanthi is usually repeated thrice. "Om, shaanthi, shaanthi, shaanthihi," since Peace is prayed for, in the physical, mental and spiritual planes.

Shanthi atau kedamaian janganlah diartikan bahwa seseorang tidak boleh bereaksi sama sekali atas perlakuan ataupun ucapan orang lain yang tidak senonoh terhadapnya. Shanthi bukanlah berarti bahwa kita hanya berdiam diri dan bisu bagaikan batu. Shanthi mensyaratkan bahwa kita harus sanggup untuk mengendalikan panca indera dan hawa nafsu; sehingga inner peace menjadi bagian dari diri kita. Shanthi mengandung unsur ketidak-melekatan sebagai bagian dari kualitas dasarnya. Samudera - yang merepresentasikan sikap suka berkumpul dan memiliki - terletak di bagian bawah; sedangkan kawanan awan - yang merepresentasikan sikap tidak melekat dan melepaskan - terletak jauh di atas langit. Shanthi membekali manusia dengan batin yang tenang dan pandangan yang mantap. Doa Shanthi biasanya diucapkan tiga kali. "Om, Shanthi, Shanti, Shaanthihi" - ini merupakan doa kedamaian untuk badan fisik, mental dan spiritual.

- Divine Discourse, October 6, 1981.



10th February 2008

What man should seek is not longevity in life but divinization of life. He must develop his good qualities. The span of life is determined by Time. It is virtue that has to be nourished. The character and conduct of a person are based upon his qualities. Forgetting this truth, people go after changes in the external conditions of life. When the Yaksha asked Dharmaraja (in the epic Mahabharata) "Who is the guide and protector for the world?" the latter replied: "Only the good man is the protector of the world." If there were no good people in the world, it would be a hapless world.

Yang perlu engkau cari bukanlah usia yang panjang dalam kehidupan ini, melainkan divinization of life (pengkudusan kehidupan). Engkau perlu memupuk kualitas-kualitas diri yang positif. Rentang kehidupan ditentukan oleh faktor waktu. Lestarikanlah nilai-nilai luhur. Karakter dan perilaku manusia didasari oleh kualitas-kualitas dirinya. Oleh karena ia telah melupakan kebenaran tersebut, maka sebagai akibatnya, manusia hanya berbenah diri dalam aspek eksternal kehidupannya saja. Ketika Yaksha bertanya kepada Dharmaraja (dalam legenda Mahabharata), "Siapakah penuntun dan pelindung dunia ini?" Dharmaraja menjawab: "Hanya orang-orang bajik dan saleh sajalah yang bisa menjadi pelindung dunia ini." Jikalau orang-orang bajik sudah punah dari dunia ini, maka kehidupan menjadi sangat menyedihkan.

- Divine Discourse, July 17, 1988.

11th February 2008

The power of Love alone confers true strength. All other powers are of no avail. Hence the only strength we should seek from God is the strength of Love. With that strength all the powers can be acquired. It is not siri (wealth) that we should desire; we should yearn for Hari (God)... It is not rolling in wealth that constitutes enjoyment. To be immersed in God's love and thoughts of God is the greatest enjoyment as well as true yoga... God is present everywhere in the Cosmos. He is timeless, without beginning or end. You must try to develop the awareness of this Omnipresent Divine in your heart.

Satu-satunya sumber kekuatan sejati hanya bisa diperoleh melalui cinta-kasih. Kekuatan-kekuatan lainnya tak ada nilainya. Oleh sebab itu, satu-satunya sumber daya yang harus kita minta dari Tuhan adalah kekuatan cinta-kasih. Dengan kekuatan tersebut, maka kekuatan lainnya akan bisa diperoleh dengan sendirinya. Yang perlu kita kejar bukanlah siri (kekayaan), melainkan Hari (Tuhan)... Kebahagiaan sejati bukanlah berasal dari kekayaan. Yoga dan kebahagiaan sejati diperoleh melalui cinta-kasih Tuhan dan melalui sikap kita yang senantiasa ingat kepada-Nya... Tuhan eksis di segenap penjuru alam semesta. Beliau tak mengenal waktu, tanpa awal dan tanpa akhir. Engkau harus mencoba untuk mengembangkan kesadaran atas Divine yang Omnipresent ini di dalam hatimu.

- Divine Discourse, July 17, 1988.


12th February 2008

Aspirants for mental peace have to reduce the luggage they care for; the more the luggage, the greater the bother. Objective possessions and subjective desires, both are handicaps in the race for realization. A house cluttered with lumber will be dark, dusty, and with no free movement of fresh air, it will be stuffy and suffocating too. The human body, likewise, is a house; do not allow it to be cluttered with curios, trinkets, trash, and superfluous furnishings. Let the breeze of holiness blow as it wills through it; let not the darkness of blind ignorance desecrate it. Life is a bridge over the sea of change; pass over it, but do not build a house on it.

Para aspiran yang menghendaki kedamaian batin haruslah mengurangi beban (duniawi)nya; sebab dengan semakin banyaknya kemelekatan (duniawi), maka akan semakin merepotkan pula (kehidupannya). Harta benda dan keinginan (duniawi) adalah penghalang untuk tercapainya realisasi. Rumah yang penuh sesak dengan batangan-batangan kayu akan terkesan gelap, berdebu dan tidak mempunyai ventilasi udara yang segar; dengan demikian, ia akan terasa penuh sesak dan memualkan. Demikian pula halnya dengan badan jasmani manusia, ia bagaikan rumah; janganlah engkau membiarkan rumahmu disesaki oleh perabotan-perabotan yang berlebihan dan terkesan seperti sampah. Biarkanlah aliran udara segar (kesucian) berhembus di dalamnya; janganlah engkau membiarkan kegelapan batin menodainya. Kehidupan ini laksana jembatan yang melintas di atas samudera perubahan; berjalanlah di atas jembatan ini, namun jangan pula engkau membangun sebuah rumah di atasnya.

- Divine Discourse, October 12, 1969.

Sai Inspires - 13th February 2008 (How should we spend every minute of our existence?)


According to the purity of our actions, we will get the fruits thereof. Our precious human birth can be redeemed only by developing human qualities and leading a righteous life. You must make good use of the golden opportunity you have got now. Besides worldly education, cultivate meditation on God, and develop the inner vision. Become Raja yogis. Raja yoga implies doing your duty without concern for the results and dedicating yourself to the service of society and welfare of humanity.

Kita akan memetik hasil/buah perbuatan sesuai dengan (murni atau tidaknya) perbuatan yang kita lakukan. Kelahiran sebagai manusia (yang sangat langka dan berharga ini) hanya akan bermakna jikalau kita mengembangkan kualitas kemanusiaan dan menjalani kehidupan yang bajik. Engkau harus memanfaatkan sebaik-baiknya kesempatan emas yang dimilikimu sekarang ini. Di samping pendidikan sekuler (duniawi), engkau perlu bermeditasi kepada-Nya serta mengembangkan inner vision. Jadilah Raja yogis. Raja Yoga diartikan sebagai melaksanakan kewajiban-kewajibanmu tanpa perlu terikat kepada hasil-hasilnya serta mendedikasikan dirimu bagi kegiatan pelayanan masyarakat serta kesejahteraan orang banyak.

- Divine Discourse, July 17, 1988.


Friday, February 8, 2008

Sai Inspires - 8th February 2008 (an important virtue that can significantly contribute to our mental peace)


Kshama or forgiveness is identified by the scriptures with truth, righteousness, knowledge, sacrifice and joy. Without fortitude man cannot be happy even for a kshasya (moment). It promotes divine qualities. It reveals inner Divinity. One has to perform spiritual practice to earn it and establish oneself in it. Nourish the idea that God is equally present in all, in spite of ridicule from the ignorant and sarcastic criticism from the blind or even praise from admirers. Do not mind them.

Di dalam kitab-kitab suci, kshama (sikap pemaaf) diasosiasikan dengan kebenaran, kebajikan, pengetahuan, pengorbanan dan kegembiraan. Tanpa adanya fortitude (keuletan), maka manusia tidak akan bisa merasakan kebahagiaan bahkan untuk sesaat (kshasya) sekalipun. Fortitude menjadi pendorong untuk tercapainya divine qualities. Ia akan mewujudkan inner Divinity. Untuk memperolehnya, maka tentunya setiap orang harus melakukan praktek spiritual. Walaupun terdapat sebagian orang yang oleh karena kebodohan batinnya secara gencar menyuarakan kritik-kritiknya yang sarkastik, engkau tidaklah perlu terlalu menghiraukannya dan sebaliknya, milikilah keyakinan yang kuat bahwa Tuhan eksis di dalam diri setiap orang.

- Divine Discourse, October 6, 1981.

Sai Inspires - 7th February 2008 (How can we realise the divine?)


To get close to God you have to go beyond the mind. To have control over the mind is the mark of wisdom. To seek to achieve proximity to God you have to develop devotion. Millions of people all over the world are seeking God-Realization. But all their efforts are at the mental level. They have to go beyond the mind to realize the Divine, who is the Embodiment of Truth-Wisdom-Omnipotence...They have to recognize the supreme importance of keeping the mind under control.

Untuk mencapai kedekatan dengan Tuhan, maka engkau harus bisa melampaui ‘mind’-mu sendiri. Mengendalikan mind merupakan perbuatan yang bijak. Untuk memperoleh kedekatan dengan Sang Ilahi, maka engkau juga perlu mengembangkan devotion (bhakti). Berjuta-juta orang di seluruh dunia berupaya untuk mencapai God-Realization. Namun semua upaya tersebut hanya berada di level mental saja. Untuk merealisasikan Divinity yang merupakan perwujudan Kebenaran-Kebijaksanaan dan Omnipotence, maka engkau harus bisa go beyond the mind... Engkau perlu menyadari betapa pentingnya untuk menjaga agar mind berada di bawah kendalimu.

- Divine Discourse, October 7, 1997.

Wednesday, February 6, 2008

Sai Inspires - 6th February 2008 (How can we free ourselves and be in peace?)

The mind, it has been said, is the cause of one's bondage or liberation. Bad thoughts beget bondage. Good thoughts lead to liberation. Hence, everyone should develop good thoughts and perform good deeds. Such good feelings can arise only out of love. Today all man's actions are governed by mundane desires. To achieve liberation man has to go beyond the vagaries of the mind. He should follow the Inner Voice.

Mind (pikiran) merupakan sumber penyebab utama dari kemelekatan dan juga pencerahan manusia. Buah-buah pikiran yang jelek mengakibatkan kemelekatan, sedangkan buah pikiran yang baik akan menuntunmu menuju pencerahan. Oleh sebab itu, setiap orang harus mengembangkan pikiran yang positif dan melakukan perbuatan bajik. Untuk itu, diperlukan cinta-kasih. Dewasa ini perbuatan manusia banyak yang didikte oleh keinginan-keinginan duniawi. Untuk mencapai pencerahan, maka engkau harus mampu mengatasi pikiranmu yang liar. Ikutilah suara hatimu (Inner Voice).

- Divine Discourse, October 7, 1997.



Tuesday, February 5, 2008

Sai Inspires - 5th February 2008 (How can we access the enormous potential that is latent within us?)


By means of systematic Sadhana (spiritual practice) it is possible to tap the inner resources that God has endowed man with and elevate yourselves to the purer and happier realm of the Reality. Look at the trainers of wild beasts. They bring the tiger, the most ferocious of animals, like a cat into the circus ring, and make it jump through a hoop of fire, or lap milk from a plate, face to face with a goat, sitting on a chair! They are able to subdue its ferocity and tame it, reduce it to the position of an unassuming toy! How could they do it? They did Sadhana, they made the tiger also go through a regimen of Sadhana and they succeeded! If you could succeed with the tiger, can you not succeed with the ferocious denizens of your mind?

Melalui serangkaian latihan spiritual (sadhana) yang dilakukan secara sistematis, engkau akan sanggup untuk memetik manfaat dari sumber daya yang telah dibekali oleh Tuhan di dalam dirimu; sehingga dengan demikian, engkau akan bisa mengangkat derajat kehidupanmu ke level yang lebih murni dan bahagia. Cobalah lihat para pelatih binatang buas. Mereka sanggup melatih harimau - yang dikenal sebagai binatang yang sangat liar & buas – untuk berperilaku seperti layaknya seekor kucing di dalam sirkus, dan memerintahkannya untuk melompat melalui cincin api ataupun meminum susu dari secangkir piring, bahkan duduk dengan posisi saling berhadapan dengan seekor kambing sekalipun! Bagaimana mereka bisa melakukannya? Tak lain yaitu melalui Sadhana! Dengan sadhana yang dilakukan secara ulet, mereka sanggup dan berhasil menjinakkan harimau. Bila harimau saja bisa dijinakkan dengan latihan yang tekun & ulet, lalu mengapa engkau tidak bisa menjinakkan keliaran & kebuasan pikiranmu?

- Divine Discourse, October 4, 1967.

Monday, February 4, 2008

Sai Inspires - 2nd February until 4th February 2008 (How should we sanctify our time?)




You must not be dependent on another for services that you can well do yourself. What is the use of tiring out a servant in subserving your wishes and yourself sitting lazily in meditation? Engage in activity, devote yourself in worshipful acts, do everything for the glory of God - that is far more fruitful than the 'meditation' which you are relying on. Just as a thermometer indicates the heat of the body, your talk, conduct, and behaviour indicate your mental equipment and attitudes, and show how high is the fever of worldliness that afflicts you. These have to be Saathwik (pure), untinged by passion of emotions like hate or pride.

Janganlah engkau terlalu bergantung kepada orang lain atas bentuk-bentuk pelayanan yang sebenarnya bisa engkau lakukan sendiri. Apa gunanya engkau mendaya-gunakan tenaga pembantu guna memuaskan keinginanmu sementara engkau sendiri duduk secara bermalas-malasan sembari menggunakan alasan sedang bermeditasi? Libatkanlah dirimu dalam aktivitas, baktikanlah dirimu dalam ibadah, dan lakukanlah segalanya demi untuk kemuliaan Tuhan – semua kegiatan ini jauh lebih berfaedah daripada ‘praktek meditasi’-mu tadi. Sebagaimana termometer sebagai alat untuk mengindikasikan panas badanmu; maka demikian pula, ucapanmu, perilakumu dan sifat-sifatmu adalah sebagai indikator atas kesehatan mental dan attitudemu; semua parameter itu bisa dimanfaatkan untuk menilai seberapa tinggi unsur keduniawian di dalam dirimu. Ucapan, perbuatan dan pikiranmu seyogyanya bersifat Saathwik (murni) dan tidak dipengaruhi oleh emosi-emosi seperti kebencian ataupun kesombongan.

- Divine Discourse, October 12, 1969.




The mind is subject to varying moods - sorrow or joy, anger or fear, love or hate. For all the diseases arising from the mind, the basic causes are two - Raaga and Dhvesha (attachment and aversion). The mind is filled with these twofold feelings. Consequently, it tends to forget its basic human nature. The mind in this state considers the six basic enemies of man - lust, hatred, delusion, greed, envy and pride - as virtues. These six vices can poison a person's entire being. He then forgets his inherent divinity and ceases to be human; he is a victim of infamy. But a person filled with good feelings enjoys peace and happiness.

Mind (batin) manusia sangat rentan terhadap berbagai variasi/bentuk moods – sedih atau senang, marah atau takut, cinta atau benci. Penyebab utama dari penyakit-penyakit batin ini pada dasarnya hanya ada dua, yaitu akibat adanya Raaga dan Dhvesha (kemelekatan dan ketidak-sukaan). Batin manusia dipenuhi oleh kedua unsur tersebut. Sebagai akibatnya, manusia melupakan sifat kemanusiaannya yang paling mendasar. Alhasil, mind justru berteman dengan keenam musuh utama manusia, yakni: nafsu, kebencian, delusi (kebodohan batin), keserakahan, keiri-hatian dan kesombongan. Padahal justru keenam hama tersebut merupakan sumber racun yang mencemari diri setiap orang. Akibat racun tersebut, manusia telah melupakan jati diri divinitynya dan merosot nilai kemoralannya; dan akhirnya ia-pun menjadi korban kekejian. Sebaliknya, manusia yang memiliki perasaan yang positif, ia akan menikmati kedamaian dan kebahagiaan.

- Divine Discourse, October 7, 1997.


The essential nature of an individual is Divinity; whose strength is that of the unconquerable spirit. But, this hero has reduced himself to a zero, and is groveling in fear and falsehood! To achieve his nefarious plans, man is demonstrating courage and confidence. Once his mind is set on vengeance or crime, man becomes a fierce animal, ready to inflict wanton cruelties. Or the heroism is channeled into mountain climbing, deep sea diving or walking on space, or other adventurous acts. But, the most heroic adventure of all, the conquest of the senses and of their pulls, is yet beyond him. When the senses challenge him he/she yields, instead of challenging them in return and overpowering them. Consider only the masters of their own impulses and passions as true heroes. And, no other.

Sifat dasar dari setiap orang adalah Divinity; yaitu sumber kekuatan dari spirit (jiwa) yang tidak tertaklukkan. Akan tetapi sayangnya, pahlawan (hero) ini telah mengalami degradasi dari hero menjadi zero serta dirundung oleh ketakutan dan kepalsuan! Untuk merealisasikan rencana jahatnya, manusia justru memperlihatkan keberanian dan kepercayaan dirinya. Sekali batin manusia terjerat dalam kejahatan atau balas-dendam, maka manusia itu telah menjadi binatang buas, yang siap untuk menebar kekejian. Ada juga heroisme yang disalurkan melalui kegiatan-kegiatan seperti panjat gunung, menyelam ke dasar laut atau berjalan di ruang angkasa ataupun kegiatan-kegiatan berpetualang lainnya. Di atas segalanya, satu-satunya petualangan heroik yang paling berharga adalah berupa kesanggupan untuk menaklukkan panca indera dan godaan-godaannya. Namun sayangnya manusia belum sanggup untuk mengatasinya. Pahlawan sejati tiada lain adalah mereka yang menjadi master (penguasa) atas dorongan nafsunya sendiri.

- Divine Discourse, November, 1971.