Shanthi or Peace does not mean that a person should not react at all, whatever others may say or however they may abuse him. It does not mean that he/she must be silent as a rock. It involves mastery of all the senses and all the passions; inner peace must become one's nature. Shaanthi has detachment as the basic quality. The sea, which likes to gather and possess, lies low; the cloud that likes to renounce and give up is high in the sky. Shanthi endows man with an unruffled mind and steady vision. The prayer for shanthi is usually repeated thrice. "Om, shaanthi, shaanthi, shaanthihi," since Peace is prayed for, in the physical, mental and spiritual planes.
Shanthi atau kedamaian janganlah diartikan bahwa seseorang tidak boleh bereaksi sama sekali atas perlakuan ataupun ucapan orang lain yang tidak senonoh terhadapnya. Shanthi bukanlah berarti bahwa kita hanya berdiam diri dan bisu bagaikan batu. Shanthi mensyaratkan bahwa kita harus sanggup untuk mengendalikan panca indera dan hawa nafsu; sehingga inner peace menjadi bagian dari diri kita. Shanthi mengandung unsur ketidak-melekatan sebagai bagian dari kualitas dasarnya. Samudera - yang merepresentasikan sikap suka berkumpul dan memiliki - terletak di bagian bawah; sedangkan kawanan awan - yang merepresentasikan sikap tidak melekat dan melepaskan - terletak jauh di atas langit. Shanthi membekali manusia dengan batin yang tenang dan pandangan yang mantap. Doa Shanthi biasanya diucapkan tiga kali. "Om, Shanthi, Shanti, Shaanthihi" - ini merupakan doa kedamaian untuk badan fisik, mental dan spiritual.
- Divine Discourse, October 6, 1981.
What man should seek is not longevity in life but divinization of life. He must develop his good qualities. The span of life is determined by Time. It is virtue that has to be nourished. The character and conduct of a person are based upon his qualities. Forgetting this truth, people go after changes in the external conditions of life. When the Yaksha asked Dharmaraja (in the epic Mahabharata) "Who is the guide and protector for the world?" the latter replied: "Only the good man is the protector of the world." If there were no good people in the world, it would be a hapless world.
Yang perlu engkau cari bukanlah usia yang panjang dalam kehidupan ini, melainkan divinization of life (pengkudusan kehidupan). Engkau perlu memupuk kualitas-kualitas diri yang positif. Rentang kehidupan ditentukan oleh faktor waktu. Lestarikanlah nilai-nilai luhur. Karakter dan perilaku manusia didasari oleh kualitas-kualitas dirinya. Oleh karena ia telah melupakan kebenaran tersebut, maka sebagai akibatnya, manusia hanya berbenah diri dalam aspek eksternal kehidupannya saja. Ketika Yaksha bertanya kepada Dharmaraja (dalam legenda Mahabharata), "Siapakah penuntun dan pelindung dunia ini?" Dharmaraja menjawab: "Hanya orang-orang bajik dan saleh sajalah yang bisa menjadi pelindung dunia ini." Jikalau orang-orang bajik sudah punah dari dunia ini, maka kehidupan menjadi sangat menyedihkan.
- Divine Discourse, July 17, 1988.
The power of Love alone confers true strength. All other powers are of no avail. Hence the only strength we should seek from God is the strength of Love. With that strength all the powers can be acquired. It is not siri (wealth) that we should desire; we should yearn for Hari (God)... It is not rolling in wealth that constitutes enjoyment. To be immersed in God's love and thoughts of God is the greatest enjoyment as well as true yoga... God is present everywhere in the Cosmos. He is timeless, without beginning or end. You must try to develop the awareness of this Omnipresent Divine in your heart.
Satu-satunya sumber kekuatan sejati hanya bisa diperoleh melalui cinta-kasih. Kekuatan-kekuatan lainnya tak ada nilainya. Oleh sebab itu, satu-satunya sumber daya yang harus kita minta dari Tuhan adalah kekuatan cinta-kasih. Dengan kekuatan tersebut, maka kekuatan lainnya akan bisa diperoleh dengan sendirinya. Yang perlu kita kejar bukanlah siri (kekayaan), melainkan Hari (Tuhan)... Kebahagiaan sejati bukanlah berasal dari kekayaan. Yoga dan kebahagiaan sejati diperoleh melalui cinta-kasih Tuhan dan melalui sikap kita yang senantiasa ingat kepada-Nya... Tuhan eksis di segenap penjuru alam semesta. Beliau tak mengenal waktu, tanpa awal dan tanpa akhir. Engkau harus mencoba untuk mengembangkan kesadaran atas Divine yang Omnipresent ini di dalam hatimu.
- Divine Discourse, July 17, 1988.
Aspirants for mental peace have to reduce the luggage they care for; the more the luggage, the greater the bother. Objective possessions and subjective desires, both are handicaps in the race for realization. A house cluttered with lumber will be dark, dusty, and with no free movement of fresh air, it will be stuffy and suffocating too. The human body, likewise, is a house; do not allow it to be cluttered with curios, trinkets, trash, and superfluous furnishings. Let the breeze of holiness blow as it wills through it; let not the darkness of blind ignorance desecrate it. Life is a bridge over the sea of change; pass over it, but do not build a house on it.
Para aspiran yang menghendaki kedamaian batin haruslah mengurangi beban (duniawi)nya; sebab dengan semakin banyaknya kemelekatan (duniawi), maka akan semakin merepotkan pula (kehidupannya). Harta benda dan keinginan (duniawi) adalah penghalang untuk tercapainya realisasi. Rumah yang penuh sesak dengan batangan-batangan kayu akan terkesan gelap, berdebu dan tidak mempunyai ventilasi udara yang segar; dengan demikian, ia akan terasa penuh sesak dan memualkan. Demikian pula halnya dengan badan jasmani manusia, ia bagaikan rumah; janganlah engkau membiarkan rumahmu disesaki oleh perabotan-perabotan yang berlebihan dan terkesan seperti sampah. Biarkanlah aliran udara segar (kesucian) berhembus di dalamnya; janganlah engkau membiarkan kegelapan batin menodainya. Kehidupan ini laksana jembatan yang melintas di atas samudera perubahan; berjalanlah di atas jembatan ini, namun jangan pula engkau membangun sebuah rumah di atasnya.
- Divine Discourse, October 12, 1969.
No comments:
Post a Comment