Manusia telah dibudaki oleh uang. Mereka menjalani kehidupan yang superfisial, hampa dan artifisial. Hal ini sungguh amat disayangkan sekali. Hendaknya engkau mencari pemenuhan (uang) dalam jumlah yang secukupnya saja bagi kehidupanmu sehari-hari. Jumlah kekayaan yang dimiliki seseorang dapat diperumpamakan seperti ukuran sepatu yang engkau kenakan; apabila ukurannya terlalu kecil, maka kaki akan terasa sakit; sebaliknya jikalau terlalu besar, maka perjalananmu akan terganggu pula. Demikianlah jumlah uang yang engkau miliki hendaknya dalam batasan yang secukupnya saja untuk kenyaman hidup secara jasmaniah dan rohaniah. Jikalau kita mempunyai uang yang berlimpah-ruah, maka resikonya adalah kita akan terjangkit 'penyakit' berupa kesombongan dan sikap merendahkan orang lain. Dalam upaya untuk 'mengejar' uang, manusia telah menurunkan derajatnya menjadi level kebinatangan. Uang itu karakternya mirip-mirip dengan pupuk. Jikalau ditumpuk di satu tempat, maka ia akan menebar bau-busuk ke sekelilingnya. Tetapi kalau ia disebar ke sawah atau ladang, maka ia akan memberkahimu dengan panen yang berlimpah. Demikian pula, bila uang yang engkau miliki diberdayakan untuk perbuatan bajik ke segenap penjuru, maka perbuatanmu itu akan menganugerahimu dengan berkah dan kebahagiaan. Ironisnya, di zaman modern ini, pemikiran serta perbuatan luhur seperti ini sudah amat jarang dijumpai. Kita cenderung membanggakan diri sebagai manusia 'modern'. Tetapi apakah memang benar bahwa modernisme itu perlu sampai mengorbankan moralitas dan keadilan? Ataukah modernisme mengajarkan kita untuk membiarkan panca indera kita berkeliaran secara liar? Atau memupuk keinginan yang tiada habisnya? Tentu saja tidak! Justru yang dimaksudkan dengan modernisme adalah self-control (pengendalian diri) dan self-confidence (kepercayaan/keyakinan pada diri sendiri).
- Divine Discourse, July 17, 1981.
No comments:
Post a Comment